Selamat Datang di My Blog

Dengan membuka blog ini saya harap bisa saling berbagi...

Kamis, 11 Maret 2010

THALAK DAN KHULUK DALAM FIQIH ISLAM

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati

A. Thalak
Pengertian Thalak
Kata thalak diambil dari kata al-ithlak yang berarti melepaskan atau meninggalkan (al-irsal wat tark). Oleh karenanya, secara bahasa thalak berarti: melepaskan ikatan (hallul witsaq wa raf'ul qaid). Sedangkan secara istilah (syari'i) thalak berarti melepaskan ikatan pernikahan dengan menggunakan kata-kata thalak atau yang sejenisnya. Atau boleh juga diartikan dengan melepaskan ikatan pernikahan pada waktu sekarang (dengan jalan Thalak Bain) atau di waktu akan datang setelah masa iddahnya habis (Thalak Raj'i) dengan menggunakan kata-kata yang khusus.
Dimaksudkan dengan kata nikah dalam pengertian di atas adalah khusus untuk nikah yang sah. Adapun kalau nikahnya tidak sah (secara syar'i), maka namanya bukan thalak akan tetapi fasakh.
Fasakh berbeda dengan thalak. Dengan fasakh, bukan saja membatalkan ikatan pernikahan yang sudah terjalin, akan tetapi juga membatalkan dan meniadakan semua hukum-hukum dan akibat-akibat lainnya yang terjadi karena pernikahan. Sedangkan thalak, ikatan pernikahannya tidak batal, akan tetapi akibat-akibat pernikahan lainnya yang dibatalkan. Misalnya, ketika seseorang sudah mentalak, maka ia tidak boleh berhubungan badan lagi sebelum rujuk. Akan tetapi akad pernikahannya belum batal, sehingga apabila ia hendak merujuk kembali isterinya itu, ia tinggal mengatakan maksud rujuknya disertai dengan para saksi, dan tidak perlu mengadakan akad baru.
Sedangkan fasakh, baik akadnya maupun akibat-akibat dari pernikahannya, semuanya dibatalkan. Fasakh terjadi misalnya dalam kasus seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Setelah lama keduanya menikah ternyata didapatkan bahwa isterinya itu adalah saudari sesusunya. Dalam kondisi seperti ini, pernikahan harus segera dibatalkan. Pembatalan dan pemisahan suami isteri dalam kasus seperti ini bukan disebut thalak akan tetapi fasakh. Jadi fasakh adalah pembatalan perkawinan dari dasar dan asasnya. Dengan demikian, kedua suami isteri tadi harus segera dipisahkan dan keduanya tidak dapat rujuk serta tidak dapat kembali lagi karena ternyata saudara sesusu.

Hukum asal thalak
Setelah para ulama sepakat bolehnya thalak, mereka kemudian berbeda pendapat mengenai hukum asal dari thalak itu sendiri: Apakah hukum asalnya itu boleh atau terlarang?.
Bagi Jumhur ulama, hukum asal thalak itu adalah ibahah (boleh) apabila ada alasan yang jelas, akan tetapi lebih baik lagi kalau tidak melakukannya, karena dengan thalak berarti telah memutuskan cinta kasih yang sudah terbina sebelumnya. Sedangkan bagi ulama lainnya, bahwa hukum asal thalak adalah terlarang (al-hadhar). Hal ini didasarkan pada sebuah hadits dhaif yang mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أبغض الحلال إلى الله الطلاق)) [أخرجه أبو داود والبيهقى بحديث ضعيف]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalak" (HR. Abu Dawud dan Baihaki dengan hadits dhaif).
Namun demikian, pada akhirnya para ulama sepakat, bahwa hukum asal thalak tergantung kondisi dan keadaan. Oleh karenanya, hokum talaknya pun menjadi berbeda-beda sebagaimana berikut ini:
1. Thalak Haram. Thalak bisa saja hukumnya haram apabila dilakukan terhadap wanita yang sedang haid, atau dilakukan kepada isteri yang dalam keadaan suci kemudian dicampurinya (atau sering disebut dengan Thalak Bid'ah) demikian juga apabila seorang suami yang apabila ia menthalak isterinya, besar kemungkinan akan melakukan zina. Untuk semua jenis ini, para ulama sepakat, bahwa thalak haram dijatuhkan.
2. Thalak Makruh. Thalak juga bisa hukumnya makruh, kalau dijatuhkan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, menurut sebagian ulama, thalak yang dijatuhkan tanpa ada alasan yang jelas, bukan lagi makruh, akan tetapi haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang mengatakan:
عن عمرو بن دينار قال: ((طلق ابن عمر امرأة له, فقالت له: هل رأيت منى شيئا تكرهه؟ قال: لا, قالت: ففيم تطلق المرأة العفيفة المسلمة؟ قال: فارتجعها)) [أخرجه سعيد بن منصور فى سننه بسند صحيح]
Artinya: "Amr bin Dinar berkata: "Ibnu Umar pernah mentalak isterinya, lalu isterinya berkata kepadanya: "Apakah kamu mendapatkan sesuatu yang tidak kamu sukai dari diri saya". Ibnu Umar berkata: "Tidak". Isterinya berkata kembali: "Lantas mengapa kamu menceraikan seorang isteri yang muslimah dan dapat menjaga diri serta kehormatannya?". Rasulullah saw lalu bersabda: "Rujuklah kepadanya" (HR. Sa'id bin Manshur dengan sanad Shahih).
3. Thalak Mubah. Thalak hukumnya mubah apabila dilakukan karena si isteri mempunyai perangai yang jelek sehingga apabila pernikahan itu tetap dilanggengkan, akan mengakibatkan dharar, madarat yang lebih besar.
4. Thalak Sunnah. Thalak juga bisa jadi sunnah, apabila si isteri sudah meninggalkan kewajiban-kewajiban asasi ajaran Islam seperti meninggalkan shalat wajib yang lima waktu, dan tidak bisa lagi diajak atau dipaksa untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam tersebut sebagaimana mestinya. Atau si isteri tersebut misalnya bukan isteri yang baik, suka genit dan ganjen di hadapan laki-laki lain, dan tidak dapat menjaga diri serta kehormatannya. Hal ini didasarkan pada ayat berikut ini:
ولا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19)
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
5. Thalak Wajib. Thalak juga bisa wajib bagi mereka yang telah melakukan Ila'. Ila' adalah suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya dalam kurun waktu tertentu. Apabila si suami dalam masa empat bulan tidak mau kembali dan tidak mau mencampuri kembali isterinya, maka thalak menjadi wajib hukumnya. Karena hal itu menunjukkan bahwa suami sudah tidak ada hasrat lagi pada isterinya sehingga apabila tetap dipertahankan rumah tangganya, malah akan membuat isterinya menjadi sangat menderita dan tersiksa. Untuk itu, thalak dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya. Untuk pembahasan lebih lanjut seputar Ila' ini akan dibahas pada makalah berikutnya.

Thalak di tangan suami
Dalam ajaran Islam, thalak merupakan hak suami. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa thalak berada di tangan suami. Mengapa mesti di tangan suami? Dalam hal ini para ulama mengatakan, karena umumnya suami atau laki-laki lebih matang pertimbangannya, dalam pengertian, keputusan laki-laki jauh lebih berdasarkan pertimbangan akal yang betul-betul matang, sementara wanita, umumnya lebih cenderung kepada perasaan, bukan pertimbangan. Oleh karena itu, seandainya thalak itu berada di tangan seorang isteri, maka besar kemungkinan akan banyak terjadi thalak untuk masalah-masalah kecil dan sepele.
Di samping itu, juga karena laki-laki mempunyai tanggung jawab nafkah dan keuangan lainnya apabila talak dijatuhkan. Dengan demikian, seorang suami yang hendak menjatuhkan thalak, akan berpikir lebih jauh lagi, karena itu artinya ia berkewajiban untuk memberikan nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah, di samping harus membayar kewajiban-kewajiban lainnya semisal mahar yang belum dibayar lunas atau mut'ah (pemberian alakadarnya kepada setiap wanita yang ditalak). Karena pertimbangan inilah Islam kemudian memberikan kewenangan thalak ini kepada laki-laki. Adapun apabila suatu saat si isteri, karena berbagai hal dan keadaan, bermaksud untuk berpisah dengan suaminya, maka Islam memberikan solusi lainnya berupa Khulu' (cerai gugat) yaitu kehendak cerai yang datangnya dari pihak isteri dengan jalan membayar 'iwadh berupa sejumlah uang, baik jumlahnya sama dengan mas kawin dahulu, atau lebih atau kurang tergantung kesepakatan antara suami isteri—untuk pembahasan lebih lanjut seputar Khulu' ini, akan dibahas dalam makalah berikutnya.
Dalam beberapa kondisi, seorang hakim juga dapat menjatuhkan thalak (memisahkan pasangan suami isteri) apabila dipandang hal itu sangat perlu dilakukan (dharurat).

Syarat-syarat thalak
Thalak dapat dipandang sah, apabila memenuhi beberapa persyaratan yang mana persyaratan tersebut berkaitan dengan orang yang mentalak (muthallik), wanita yang dithalak (muthallakah) dan shigat talak.
1. Syarat-syarat yang berkaitan dengan orang yang menthalak (al-muthalliq)
a) Orang yang mentalak harus seorang suami. Artinya, thalak dapat terjadi apabila sebelumnya sudah ada ikatan pernikahan yang sah.
b) Balig.
c) Berakal
d) Ada maksud (niat) untuk mentalak serta atas kemauan sendiri.

Thalak Hazil apakah jatuh?
Thalak Hazil adalah talak yang diucapkan dengan main-main. Apakah talak yang diucapkan dengan main-main misalnya suami mengatakan kepada isterinya; "Saya cerai kamu, eh saya main-main lho tadi", jatuh?
Jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata thalak dengan jelas (misalnya mengatakan: "Saya cerai kamu" atau "saya talak kamu") meskipun diucapkannya secara main-main selama yang mengucapkannya balig dan berakal, baik ia betul-betul berniat untuk mentalaknya maupun tidak, talaknya tetap dipandang jatuh. Hal ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:
وَلَا تَتَّخِذُوا ءَايَاتِ اللَّهِ هُزُوًا (البقرة: 231)
Artinya: "Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan" (QS. Al-Baqarah: 231).
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((ثلاث جدهن جد, وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة)) [أخرجه أبو داود والترمذى وابن ماجه بسند ضعيف]
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Ada tiga hal yang apabila ia diucapkan sungguh-sungguh ia jadi, dan apabila diucapkan main-main pun, ia tetap jadi (jatuh) yaitu: nikah, talak dan rujuk" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Dhaif. Namun, sekalipun hadits ini dhaif, terdapat banyak hadits dhaif lainnya yang menguatkannya, sehingga para ulama berbeda pendapat apakah hadits tersebut dapat terangkat menjadi hadits Hasan Lighairihi atau tidak. Namun, Albany menghasankan hadits ini, lihat dalam al-Irwa: VI/224).
Sedangkan menurut Imam Malik, talak Hazil hanya jatuh apaibila ada niat untuk mentalak juga atas kemauan sendiri dari suami yang mengucapkannya. Apabila tidak ada niat untuk betul-betul mentalak dan bukan karena kemauannya sendiri, maka talak tidak jatuh. Di antara dalil yang dikemukakannya adalah:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (البقرة: 227)
Artinya: "Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 227).
Dalam ayat ini Allah mengatakan bahwa talak itu harus memakai azam, niat. Apabila tidak memakai niat, maka ia tidak jatuh. Orang yang mengucapkan kata-kata talak dengan main-main tentu tidak ada niat untuk mentalaknya secara serius, oleh karena tidak ada niat itulah, maka talaknya tidak jatuh.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إنما الأعمال بالنيات)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini juga memberikan penjelasan bahwa semua perbuatan itu harus dilihat dari sisi niatnya. Apabila orang yang mengucapkan talak dengan hazil ini memang berniat untuk mentalak, maka jatuhlah talak. Namun, apabila tidak, maka tidak jatuh. Namun demikian, orang yang main-main, tentu umumnya tidak berniat secara serius dan karenanya talaknya tidak jatuh dan tidak dipandang.
2. Syarat-syarat yang berkaitan dengan wanita yang ditalak (al-muthallaqah)
a) Wanita yang ditalak masih ada kaitan pernikahan dengan yang mentalaknya (suaminya) baik secara hakikatnya maupun secara hukum. Yang dimaksud dengan secara hakikah adalah bahwa wanita yang ditalak merupakan isteri sah yang mentalak. Sedangkan yang dimaksudkan secara hukum adalah apabila wanita yang ditalak masih berada dalam masa iddah Thalak Raj'i.
b) Suami yang mentalak betul-betul menetapkan talaknya dengan isyarat atau shifat atau dengan niat. Apabila salah satu dari tiga hal ini ada, maka thalak jatuh. Mentalak dengan isyarat, shifat dan niat misalnya mengatakan kepada isterinya yang bernama Zainab, sambil berisyarat dan berniat: "Wahai Zainab, kamu saya thalak". Sedangkan mentalak hanya dengan isyarat tanpa niat dan shifat misalnya dengan berisyarat untuk mentalak kepada salah seorang dari isteri-isterinya. Demikian juga mentalak hanya dengan shifat tanpa isyarat dan niat, misalnya dengan mengatakan: "Salma, saya talak", tanpa menunjuk kepada Salma. Semua yang disebutkan di atas, thalaknya sah dan jatuh.
c) Syarat-syarat yang berkaitan dengan shigat thalak
1. Thalak dengan menggunakan kata-kata
Kata-kata yang digunakan untuk mentalak terbagi menjadi dua bagian, sharih dan kinayah. Dimaksudkan dengan kata-kata sharih adalah kata-kata yang ketika diucapkan dapat dipahami sebagai ucapan thalak dan tidak mengandung pengertian lain selain thalak. Misalnya, apabila seorang suami bukan dalam keadaan main-main mengatakan: "Kamu saya thalak" atau "Kamu saya cerai". Untuk thalak jenis ini, para ulama berpendapat, tidak memerlukan niat. Artinya, apabila seseorang sudah mengatakan kata-kata thalak yang sharih ini, meskipun tidak ada niat, maka thalak jatuh dan sah.
Sedangakan yang dimaksud dengan kata-kata kinayah adalah kata-kata yang bukan khusus dipergunakan untuk mentalak, akan tetapi mengandung makna dan pengertian talak juga mengandung makna lain selain thalak. Misalnya apabila dikatakan: "Kamu sekarang saya pisahkan atau saya serahkan". Untuk jatuhnya thalak ini, para ulama mengatakan harus disertai dengan niat bahwa dia bermaksud untuk mentalaknya. Apabila tidak disertai dengan niat untuk mentalak, maka tidak jatuh talak. Hal ini dikarenakan kata kinayah tersebut mengandung makna lain selain makna talak dan untuk memisahkan serta menunjukkan makna mana yang dikehendakinya, hanya dapat dijelaskan melalui niat.

Apakah jatuh thalak yang hanya diucapkan dalam hati tapi tidak diucapkan melalui lisan?
Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa talak yang hanya diniatkan di dalam hati tanpa diikuti dengan ucapan di lisan, tidak jatuh dan tidak dipandang sebagai talak. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله تجاوز عن أمتى ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم)) [اخرجه البخارى ومسلم]
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menghitung sebagai dosa (memaafkan) apa yang terbetik di dalam hatinya selama belum dilaksanakan atau belum diucapkan" (HR. Bukhari Muslim).
2. Thalak dengan tulisan
Apakah thalak dengan tulisan sah dan jatuh? Jumhur ulama dari empat madzhab berpendapat, thalak dengan tulisan jatuh apabila orang yang menjatuhkannya berniat untuk mentalaknya. Di antara dalil jumhur ini adalah hadits berikut:
حديث فاطمة بنت قيس: أن أبا عمرو بن حفص طلقها البتة وهو غائب, فأرسل إليها وكيله بشعير فسخطته, فقال: والله ما لك علينا من شيئ, فجاءت رسول الله فذكرت له فقال: ليس لك عليه نفقة..(رواه مسلم).
Artinya: Dari Fatimah bint Qais bahwasannya Abu Amr bin Hafs mencerainya ketika suaminya itu sedang tidak ada di rumah. Suaminya mengirim wakilnya kepadanya dengan membawa gandum, lalu Fatimah memarahi dan membencinya. Utusannya itu lalu berkata: "Demi Allah kamu tidak berhak mendapatkan (nafkah) sedikitpun dari kami". Fatimah lalu menghadap Rasulullah saw dan menceritakan bahwa suaminya menceraikannya ketika suaminya itu tidak ada di rumah. Rasulullah saw lalu bersabda: "Kamu kini tidak berhak mendapat nafkah lagi (karena talaknya sudah jatuh)" (HR. Muslim).
Sedangkan menurut Ibn Hazm, thalak hanya terjadi apabila melalui kata-kata. Sedangkan jika melalui tulisan, maka ia tidak jatuh.
Adapun thalak melalui email, faxs atau tekhnologi lainnya, maka para ulama mengatakan bahwa apabila tulisan tersebut betul-betul diyakini dan merupakan tulisan suaminya langsung, bukan rekayasa dan bukan tipuan, maka talaknya jatuh dan sah.
Namun Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni (VII/239) mengatakan bahwa thalak melalui tulisan hanya dapat sah dan jatuh apabila memakai saksi dua orang. Dalam hal ini ia mengatakan:
لا تتزوج حتى يشهد عندها شهود عدول, قيل له: فإن شهد حامل الكتاب؟ قال: لا, إلا شاهدان, فلم يقبل قول حامل الكتاب وحده حتى يشهد معه غيره, لأن الكتاب المثبتة للحقوق لا تثبت إلا بشاهدين ككتاب القاضى
Artinya: "Janganlah kamu menikah kecuali memakai saksi yang adil. Lalu ditanyakan kepadanya: "Apabila yang menjadi saksinya adalah utusan pembawa surat (taukil, diwakilkan)?" Ia menjawab: "Tidak bisa, kecuali memakai dua orang saksi. Ucapan seorang utusan pembawa surat saja tidak dapat diterima sehingga ada orang lain yang ikut menjadi saksinya juga. Hal ini dikarenakan surat baru dapat menjadi bukti kuat untuk menetapkan hak-hak manakala dilengkapi dengan dua orang saksi sebagaimana surat untuk seorang hakim".
3. Thalak dengan isyarat
Menurut jumhur ulama, orang yang bisa bicara, kemudian ia mentalak dengan isyarat, maka thalaknya tidak sah dan tidak jatuh. Sedangkan bagi yang bisu, apabila ia mentalak melalui isyarat, maka jatuh. Berbeda dengan Malikiyyah, thalak dengan isyarat, baik bagi yang bisu ataupun tidak, dapat jatuh selama ada niat. Namun apabila tidak ada niat, maka tidak jatuh. Bagi Hanafiyyah, isyarat hanya diperbolehkan bagi mereka yang tidak dapat menulis. Apabila ia dapat menulis, lalu mentalak dengan menggunakan isyarat, maka talaknya tidak jatuh.

Apakah talak harus memakai saksi?
Jumhur ulama berpendapat bahwa sunnah hukumnya untuk menghadirkan saksi minimal dua orang laki-laki ketika mentalak isterinya. Hal ini demi menghindari percekcokan dan perselisihan di kemudian hari. Sunnahnya menghadirkan saksi ketika mentalak ini di antaranya didasarkan kepada dalil berikut ini:
َفإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ (الطلاق: 2)
Artinya: "Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah" (QS. At-Thalak: 2).
Namun demikian, saksi bukanlah syarat sahnya talak. Artinya, sekalipun tidak memakai saksi, talak tetap jatuh dan sah, hanya saja apabila memakai saksi tentu itu lebih baik dan lebih maslahah.

Talak Raj'i dan Ba'in
A. Thalak Raj'i
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dari segi akibat yang dihasilkannya, thalak terbagi kepada Thalak Raj'i dan Thalak Ba'in.
Talak Raj'i adalah thalak dimana suami boleh kembali kepada isterinya selama masa iddah dengan tanpa akad baru bahkan tanpa meminta persetujuan dari isteri terlebih dahulu. Thalak Raj'i ini terjadi untuk thalak satu dan dua yang bukan Thalak Bain apabila ia merujuknya sebelum masa iddah habis. Namun apabila masa iddah sudah habis dan si suami belum merujuknya juga, maka thalak tersebut menjadi Thalak Ba'in dan si suami tidak dapat kembali kepada si isteri yang telah ditalaknya kecuali dengan akad yang baru dan mahar yang baru juga.
Perlu penulis tegaskan kembali di sini, bahwa si suami boleh rujuk kepada isterinya tanpa meminta persetujuan dari isterinya tersebut.

Syarat sahnya rujuk
Rujuk dapat dikatakan sah dan boleh dilakukan apabila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:
1. Rujuk hanya terjadi setelah talak Raj'i. Talak Raj'i adalah talak satu atau dua baik talak tersebut datangnya dari si suami atau dari hakim. Oleh karena itu, apabila talaknya adalah Talak Ba'in dan bukan Talak Raj'i, maka tidak diperbolehkan rujuk tapi harus menikah baru dengan mahar dan akad baru.
2. Rujuk hanya terjadi apabila isteri yang ditalak tadi telah didukhul sebelumnya. Oleh karena itu, apabila si isteri dicerai sebelum didukhul, lalu si suami hendak merujuknya, maka hal ini tidak diperbolehkan. Si suami harus memakai akad dan mahar baru (menikah seperti biasa), karena mencerai wanita yang belum didukhul termasuk Talak Ba'in Sughra bukan Talak Raj'i, sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (الأحزاب: 49)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya" (QS.al-Ahzab: 49).
3. Rujuk hendaknya dilakukan selama berada pada masa iddah. Apabila suami merujuk isterinya setelah masa iddahnya habis, maka hal demikian tidak dapat dikatakan sebagai rujuk, karena apabila sampai habis masa iddahnya si isteri belum dirujuk juga, maka talak tersebut menjadi Talak Ba'in Sughra.
4. Perceraian tersebut bukan Khulu'. Khulu' adalah permohonan cerai dari si isteri kepada suaminya dengan jalan membayar 'iwad, uang tebusan yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perceraian tersebut karena khulu', maka tidak wanita yang ditalak tidak dapat dirujuk, karena ia bukan Talak Raj'i lagi, akan tetapi Talak Ba'in Sughra.

Rujuk adalah hak suami dan tidak dapat jatuh oleh apapun.
Rujuk adalah hak suami. Suami boleh dan berhak rujuk kepada isterinya selama isterinya yang dicerai itu dalam masa iddah, baik isterinya itu rela dan mengijinkannya ataupun tidak. Mengapa demikian? Karena sekali lagi rujuk adalah hak suami bukan hak isteri. Bolehnya suami merujuk isterinya sekalipun isterinya tidak rela di antaranya berdasarkan keterangan berikut ini:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا (البقرة: 228)
Artinya: "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah" (QS. Al-Baqarah: 228).
Dalam ayat ini ada catatan penting, bahwa suami boleh rujuk kepada isterinya apabila ia bermaksud untuk kebaikan dan bersama kembali sebagaimana suami isteri. Namun, apabila ia bermaksud hendak menyakiti si isteri atau mencelakakannya, maka rujuk tidak boleh dan isteri berhak menolaknya.
Dalam rujuk, tidak diperlukan wali juga tidak perlu mas kawin. Hal ini dikarenakan rujuk dipandang masih dalam hokum perkawinan. Seseorang yang hendak merujuk isterinya cukup mengatakan maksudnya itu kepada isterinya sambil disaksikan oleh dua orang laki-laki atau lebih.

Apakah rujuk perlu diumumkan sebagaimana pernikahan?
Apabila seorang suami telah rujuk kepada suaminya, apakah perlu diumumkan bahwa keduanya telah melakukan rujuk? Menurut Jumhur ulama, bahwa mengumumkan telah terjadinya rujuk hanyalah sunnah semata. Artinya, apabila diumumkan tentu hal itu akan mendapat pahala, dan apabila tidak diumumkan, rujuknya tetap sah hanya tidak mendapat pahala sunnah.
Sedangkan menurut Dhahiriyyah, I'lan atau mengumumkan telah terjadinya rujuk adalah wajib hukumnya. Artinya, setiap suami isteri yang melakukan rujuk, wajib untuk diumumkan kepada orang banyak bahwa keduanya telah rujuk. Apabila tidak diumumkan, maka rujuknya tidak sah dan harus diulang.
Dari kedua pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengatakan bahwa rujuk wajib diumumkan. Hal ini agar masyarakat banyak mengetahui hal itu sehingga terhindar adanya fitnah dan su'u dhann (buruk sangka). Di samping itu, juga agar menghentikan langkah laki-laki lain yang hendak menikahi wanita yang ditalak tadi. Dalam prakteknya, I'lan rujuk ini dapat diwujudkan dengan jalan, misalnya, mengundang tetangga dan masyarakat sekitar untuk acara makan-makan dan syukuran atas telah terjadinya rujuk tersebut atau dengan pengumuman di mesjid dan lainnya.
Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Khalifah Umar bin Khatab, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hazm, kepada wanita yang ditalak lalu dirujuk kembali oleh suaminya, namun sampai masa iddahnya habis kedua pasangan tersebut tidak mengumumkan telah terjadinya rujuk tadi, Umar mengatakan bahwa keduanya telah terjadi Thalak Ba'in Shugra. Hal ini lantaran sampai masa iddahnya habis, si suami tidak mengumumkan bahwa keduanya telah rujuk. Ini juga menunjukkan wajibnya mengumumkan rujuk sebagaimana wajibnya mengumumkan pernikahan meski dalam prakteknya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk pengumuman.

Bagaimana cara merujuk isteri yang ditalak raj'i?
1. Merujuk dengan ucapan / kata-kata
2. Merujuk dengan perbuatan.
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh rujuk dengan perbuatan, misalnya dengan jalan si suami langsung menyetubuhi isterinya itu, atau mencumbunya dengan mesra atau melihat langsung kemaluan besarnya? Para ulama berbeda pendapat.
Menurut madzhab Hanafiyyah, rujuk boleh dan dapat juga dilakukan dengan langsung perbuatan, misalnya dengan jalan mencumbunya, mendukhulnya, menciumnya atau memegang-megang auratnya dengan penuh syahwat atau dengan melihat kemaluan besarnya, baik ia berniat untuk merujuknya maupun tidak. Hal ini didasarkan di antaranya kepada argument berikut ini:
1. Rujuk hakikatnya adalah kelanjutan dari sebuah pernikahan yang sudah terbina. Oleh karena itu, ia tidak perlu ucapan segala dan cukup dengan perbuatan yang menunjukkan keseriusan untuk melanjutkan ikatan pernikahan tersebut.
2. Perbuatan yang dipandang sebagai kebolehan untuk rujuk itu hanyalah yang menunjukkan kepada hal yang dilakukan ketika menikah, yakni menyetubuhinya, mencumbunya, menyentuh dan meremas bagian sensitive dan auratnya serta yang lainnya dengan diiringi syahwat ataupun melihat kemaluan besar isterinya. Oleh karena itu, tatapan biasa ke wajah, tangan dan lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan untuk rujuk.
Dengan demikian, apabila si suami melakukan perbuatan-perbuatan di atas kepada mantan isterinya, maka ia dipandang telah merujuknya sekalipun tidak diucapkan dan tidak diniatkan.
Sedangkan menurut madzhab Malikiyyah, bahwa rujuk boleh dan dapat dilakukan dengan perbuatan seperti mencumbunya, menyetubuhinya dengan syarat harus ada niat terlebih dahulu bahwa hal itu untuk merujuk isterinya. Apabila tidak ada niat, maka tidak sah dan tidak dipandang sebagai rujuk. Hal ini didasarkan kepada hadits bahwa semua perbuatan itu tergantung pada niatnya.
Madzhab lainnya yakni madzhab Hanabilah mengatakan bahwa rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan dengan syarat bahwa perbuatan tersebut hanyalah berupa berhubungan badan (jima). Sedangkan yang lainnya seperti mencium atau mencumbu, tidak dapat dijadikan salah satu cara untuk rujuk. Hal ini di antaranya yang dijadikan alasan adalah bahwa yang menjadikan wajib mahar itu adalah jimak bukan yang lainnya. Oleh karenanya, orang yang mencumbu atau mencium wanita tidak wajib mahar. Demikian juga dengan rujuk, ia hanya dapat dilakukan melaui perbuatan berupa jimak saja dan tidak bisa dengan yang lainnya.
Sementara menurut madzhab Syafi'iyyah, bahwa rujuk tidak dapat dilakukan dengan perbuatan. Ia hanya diperbolehkan dengan ucapan dan perkataan saja. Ia tidak bisa dengan jimak ataupun yang lainnya tapi harus dengan perkataan. Di antara dalil yang dikemukakannya adalah rujuk itu seperti nikah, selama bisa diucapkan, maka harus diucapkan dan tidak bisa dengan perbuatan. Di samping itu, tidak ada keterangan baik dari al-Qur'an maupun dari Sunnah yang mengatakan bahwa rujuk itu dapat dilakukan dengan jimak, sementara apabila dengan ucapan, para ulama telah menyepakati kebolehannya.
Dari pendapat-pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengambil pendapat yang mengatakan bahwa rujuk dapat juga dilakukan dengan perbuatan. Apabila perbuatan itu berupa jimak, berhubungan badan, maka rujuk dapat langsung terjadi sekalipun tidak disertai dengan niat. Namun, apabila perbuatan tersebut selain jimak seperti mencumbu, mencium, meremas dan meraba, maka harus memakai niat. Apabila dengannya dimaksudkan untuk rujuk, maka terjadilah rujuk. Namun, apaibla tidak diniatkan untuk rujuk, maka tidak terjadi rujuk. Wallahu 'alam.

Apakah rujuk harus memakai saksi?
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah rujuk harus memakai saksi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Menurut Imam Syafi'I dalam qaul qadimnya (pendapat lamanya), juga Ibn Hazm dan Ibn Taimiyyah, bahwa saksi dalam rujuk hukumnya wajib. Artinya, rujuk baru sah apabila disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Hal ini di antaranya didasarkan kepada argument berikut ini:
َفإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ (الطلاق: 2)
Artinya: "Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah" (QS. At-Thalak: 2).
عن مطرف بن عبد الله أن عمران بن حصين سئل عن الرجل يطلق امرأته ثم يقع بها, ولم يشهد على طلاقها ولا على رجعتها؟ فقال: ((طلقت لغير سنة, وراجعت لغير سنة, أشهد على طلاقها وعلى رجعتها ولا تعد)) [أخرجه أبو داود بإسناد صحيح]
Artinya: Dari Muthraf bin Abdullah bahwasannya Imran bin Hushain pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak isterinya kemudian ia kembali kepadanya, tanpa ada saksi atas perceraian dan rujuknya. Imran menjawab: "Wanita itu telah ditalak dengan tidak mengikuti sunnah, telah rujuk dengan tidak mengikuti sunnah juga. Hadirkan saksi ketika mentalak dan ketika merujuk, serta janganlah kamu ulangi perbuatan kamu itu" (HR. Abu Dawud dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa saksi dalam rujuk bukan wajib tapi sunnah saja. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah, Malik dan Imam Syafi'I dalam pendapat barunya (qaul jadid). Di antara argumennya adalah:
1. Saksi itu hanyalah wajib untuk pernikahan, karena dengan pernikahan itu menjadi bolehnya berhubungan badan. Sementara untuk kasus rujuk, ia masih merupakan kelanjutan dari pernikahan dan bukan sebagai awal dari pernikahan tersebut. Karenanya, tidak wajib adanya saksi.
2. Rujuk adalah hak si suami. Ia boleh merujuk kapan saja selama dalam masa iddah, dan tidak perlu kerelaan dan ijin dari isterinya juga tidak perlu walinya, karena itu tidak wajib menghadirkan saksi.
3. Ayat yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama tentang wajibnya saksi, boleh jadi bukan untuk wajib tapi sunnah saja.
4. Saksi dalam rujuk sunnah hukumnya demi kemaslahatan baik kemaslahatan si isteri atau suami atau keluarga keduanya. Namun demikian, rujuk tanpa saksi pun sah-sah saja.
Penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua, bahwa saksi dalam masalah rujuk hanyalah sunnah saja. Hal ini, mengingat bahwa rujuk hakikatnya masih merupakan kelanjutan dari sebuah pernikahan dan kerenanya tidak perlu memakai saksi karena bukan sebuah permulaan lagi. Namun demikain, demi menjaga fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan, tentu menghadirkan dua orang saksi laki-laki menjadi sunnah hukumnya. Wallahu a'lam.

B. Thalak Ba'in
Thalak Ba'in adalah thalak dimana si suami tidak dapat rujuk kepada isterinya yang telah dicerai kecuali harus dengan akad nikah yang baru. Thalak Ba'in dibagi dua bagian; Ba'in Shugra dan Ba'in Kubra.

Thalak Ba'in Sughra
Thalak Ba'in Shugra adalah thalak di mana si suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isteri yang telah diceraikannya kecuali dengan akad baru dan mas kawin baru. Thalak Bain Sughra terjadi apabila:
1. Talak sebelum didukhul (belum disetubuhi)
Apabila seorang suami mencerai isterinya yang belum disetubuhi sama sekali, maka talak tersebut disebut talak Bain Sughra, di mana si suami tidak dapat kembali kepada mantan isterinya kecuali dengan akad baru dan mahar baru. Bagi isteri yang dicerai sebelum disetubuhi, maka isteri tersebut tidak memiliki masa iddah (masa menunggu). Ia boleh menikah lagi kapan saja. Apabila ia hendak menikah dengan mantan suaminya yang baru mencerainya itu, maka harus dengan akad dan mahar baru sebagaimana ketika hendak menikah dahulu. Dalil bahwa wanita yang belum disetubuhi tidak mempunyai masa iddah adalah firman Allah berikut ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (الأحزاب: 49)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah ("mut'ah" adalah "pemberian" untuk menyenangkan hati istri yang diceraikan) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya" (QS. Al-Ahzab: 49).
2. Apabila suami menceraikan isterinya sebelum disetubuhi, akan tetapi setelah keduanya melakukan berdua-duaan di dalam kamar atau lainnya. Apabila pasangan suami isteri menikah, kemudian keduanya cerai setelah keduanya berdua-duaan di kamar atau lainnya namun keduanya belum melakuan hubungan badan, maka perceraiannya disebut dengan talak Bain Shugra; si suami boleh kembali kepada isterinya dengan catatan harus dengan akad dan mas kawin baru.
3. Apabila suami menceraikan isterinya dengan talak Raj'i (talak satu atau dua), kemudian setelah habis masa iddah si suami tidak merujuk isterinya itu, maka ia dipandang sebagai Talak Bain Shugra.
4. Khulu'. Apabila si isteri meminta cerai kepada suaminya (cerai gugat) maka disebut dengan khulu'. Jadi khulu' adalah cerai atas permohonan isteri, pembahasan lebih lanjut akan penulis sampaikan di bawah nanti.
5. Talak yang dijatuhkan oleh Hakim lantaran ada cacat, atau suaminya pergi sangat lama tanpa ada nafkah dan kabar atau karena menyakitkan dan menyiksa isterinya. Apabila pasangan suami isteri diputuskan oleh hakim harus berpisah lantaran misalnya si suami jahat kepada isterinya, atau ada cacat vital di antara keduanya (misalnya si suami impotent, 'inin, atau si isteri dalam kemaluannya ada tulang besar sehingga tidak dapat disetubuhi), atau si suaminya pergi sangat lama meninggalkan isteri dan keluarganya entah kemana, tanpa ada kabar dan tanpa memberikan nafkah. Untuk kondisi seperti ini, perceraian tersebut termasuk Talak Bain Sughra.

Akibat Hukum dari Talak Bain Sughra
Apabila antara pasangan suami isteri telah terjadi talak Bain Sughra, maka ketentuan berikut ini berlaku kepada keduanya:
1. Hilang dan putus ikatan pernikahannya namun masih dapat menikahinya kembali. Bagi suami isteri yang telah terjadi talak bain Sughra, maka ikatan pernikahan keduanya menjadi putus, artinya keduanya menjadi orang asing lagi, tidak boleh melakukan yang diperbolehkan ketika masih menjadi suami isteri. Demikian juga semua hak keduanya menjadi hilang keculai hak mendapatkan nafkah bagi wanita yang ditalak bain sughra ketika sedang hamil. Namun, meski ikatan pernikahannya telah putus, si suami masih boleh menikahi kembali mantan isterinya itu dengan syarat harus dengan akad dan mahar yang baru.
2. Si isteri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya selama masa iddahnya belum habis. Apabila telah habis, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah kecuali jika isteri tersebut hamil. Suami hanya wajib membayar mut'ah (pemberian bagi wanita yang dicerai) hanya jumlahnya tergantung kemampuan suami.
3. Berkurangnya jumlah talak yang dimiliki suami. Seorang suami mempunyai hak untuk mentalak isterinya sebanyak tiga kali. Apabila suami telah mentalak isterinya satu kali dengan talak bain shugra, maka kesempatannya untuk mentalak menjadi berkurang; tinggal dua kali.
4. Keduanya tidak dapat saling mewarisi juga tidak dapat melakukan Dhihar (menyamakan isteri dengan ibunya), Ila' (bersumpah untuk tidak menggauli isteri selama beberapa waktu tertentu) juga Li'an (saling melaknat lantaran ada prasangka buruk antara keduanya)—pembahasan lebih lanjut seputar ini akan dibahas pada makalah selanjutnya.
5. Tidak dapat kembali kepada mantan isterinya kecuali dengan akad dan mahar yang baru, juga harus ada idzin dan keridhaan dari mantan isterinya itu.
6. Si Isteri berhak mendapatkan Mas kawin yang muajjal (yang dihutang). Apabila ketika akad nikah dahulu maharnya belum dibayar sama sekali atau dibayar sebagian, maka ketika sudah ditalak bain Shugra ini, si isteri berhak mendapatkan seluruh atau sisa mahar yang belum dibayarnya dahulu.

Thalak Ba'in Kubra
Thalak Ba'in Kubra adalah thalak di mana mantan suami tidak dapat kembali kepada mantan isterinya baik ketika masa iddahnya maupun setelah habis masa iddahnya kecuali dengan akad dan mahar baru juga si isteri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain dan keduanya telah berhubungan badan lalu si isteri tersebut diceraikan laki-laki kedua itu baik karena meninggal maupun karena dicerai biasa dan masa iddahnya telah habis.

Kapan terjadinya Thalak Ba'in Kubra?
Dari definisi di atas, Thalak Ba'in Kubra terjadi manakala si isteri telah ditalak tiga kali. Si suami tidak dapat kembali kepada mantan isterinya itu sehingga isterinya itu menikah dengan laki-laki lain dan keduanya telah berhubungan badan lalu si isteri tersebut dicerai. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ*فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (البقرة: 229-230).
Artinya: "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hokum –hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 229-230)

Syarat si suami yang telah mentalak tiga kali isterinya dapat kembali kepada mantan isterinya
Seorang suami yang telah mentalak isterinya sebanyak tiga kali, masih dapat kembali kepada mantan isterinya apabila isterinya telah memenuhi dua persyaratan:
1. Si isteri telah menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang sah bukan pernikahan yang batal baik secara lahir maupun bathin.
2. Laki-laki yang menikahinya itu sudah menyetubuhinya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits dari Siti Aisyah bahwasannya Rifa'ah al-Qurdhi menikahi seorang perempuan, kemudian menceraikannya untuk yang ketiga kali lalu isterinya itu menikah dengan laki-laki lain. Isterinya itu lalu datang kepada Rasulullah saw memohon agar diperbolehkan untuk kembali kepada suaminya yang pertama dulu setelah ia diceraikan oleh suaminya yang kedua namun belum didukhul. Menjawab masalah ini, Rasulullah saw bersabda:
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لعلك تريدين أن ترجعى إلى رفاعة؟ لا, حتى تذوقى عسيلته ويذوق عسيلتك)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangkali kamu hendak kembali ke Rifa'ah? Tidak, sehingga kamu merasakan nikmatnya berhubungan badan dengan suami barumu itu, dan suami barumu juga merasakan nikmatnya berhubungan badan denganmu" (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Jumhur ulama, kata 'usailah dalam hadits di atas maknanya adalah
حلاوة الجماع التى تحصل بتغييب الحشفة فى الفرج ولو من غير إنزال
Artinya: "Nikmatnya berhubungan badan dengan jalan memasukkan kemaluan laki-laki meskipun hanya ujungnya saja (hasyafah) sekalipun tidak sampai mengeluarkan air mani".

Akibat Hukum dari Thalak Ba'in Kubra
Apabila antara suami isteri terjadi Thalak Ba'in Kubra, maka berlaku bagi keduanya ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Semua ketentuan yang berlaku pada Thalak Ba'in Sughra sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, berlaku juga untuk Thalak Ba'in Kubra.
2. Haram bagi suami untuk kembali kepada mantan isterinya, kecuali apabila mantan isterinya itu telah menikah dengan laki-laki lain dan keduanya telah melakukan hubungan badan sebagaimana suami isteri layaknya, kemudian isteri tersebut dicerai oleh suami kedua atau ditinggal mati oleh suami kedua tadi.

Tambahan: Apabila seorang suami telah mentalak tiga isterinya, lalu isteri tersebut menikah dan melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang lain, kemudian dicerai atau ditinggal mati, lalu mantan suaminya yang pertama itu menikahi kembali mantan isterinya itu, maka sejak itu si suami pertama tadi mempunyai hak untuk mentalak sebanyak tiga kali lagi, karena dengan telah menikahnya mantan isterinya tadi dengan laki-laki lain, semua talak yang pernah dijatuhkannya menjadi gugur. Dengan demikian, ia kembali ke kondisi awal, mempunyai kesempatan untuk mentalak sebanyak tiga kali.

Apakah thalak tiga yang dijatuhkan dalam satu kali ucapan dan di satu tempat dihitung sebagai talak tiga atau talak satu?
Apabila seorang suami berkata kepada isterinya: "Saya cerai kamu tiga kali sekaligus", atau "Saya cerai kamu, saya cerai kamu, saya cerai kamu", apakah itu dihitung satu kali talak atau tiga kali talak? Apabila ia dihitung sebagai talak tiga, maka jatuhnya menjadi thalak Ba'in Kubra, namun apabila dihitung satu kali talak, ia jatuh sebagai Thalak Raj'i. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Secara garis besar, para ulama dalam hal ini terbagi kepada tiga kelompok besar.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa thalak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu tempat, dipandang sebagai talak yang sah-sah saja dan dihitung sebagai tiga kali talak. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Hazm.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa talak seperti ini haram hukumnya (tidak boleh), namun demikian, talaknya tetap jatuh dan dihitung sebagai talak tiga. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lainnya.
Kedua pendapat di atas sepakat bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu tempat dihitung sebagai tiga kali talak. Pendapat ini kemudian dipegang oleh jumhur ulama baik ulama dahulu maupun ulama belakangan. Di antara dalil yang dikemukakannya adalah:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقرة: 230)
Artinya: "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain" (al-Baqarah: 230).
Menurut kedua pendapat di atas, bahwa ayat ini menjelaskan tentang talak tiga yang disebutkan sekaligus dalam satu tempat tanpa dipisah. Oleh karenanya, talak tiga yang disebut sekaligus dalam satu tempat tetap dihitung tiga kali talak.
عن فاطمة بنت قيس أن زوجها أبا حفص بن المغيرة المخزومى طلقها ثلاثا ثم انطلق إلى اليمن, فانطلق خالد بن الوليد فى نفر, فأتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فى بيت ميمونة أم المؤمنين, فقالوا: إن أبا حفص طلق امرأته ثلاثا فهل لها من نفقة؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ليس لها نفقة وعليها العدة)) [رواه مسلم]
Artinya: "Dari Fatimah bint Qais bahwasannya suaminya Abu Hafsh bin al-Mughirah al-Makhzumi mentalaknya tiga kali lalu ia pergi ke Yaman. Khalid bin Walid lalu pergi ikut dalam sebuah kelompok. Mereka datang menemui Rasulullah saw di rumah Maimunah Ummul Mukminin. Mereka berkata: "Sesungguhnya Abu Hafsh telah menceraikan isterinya tiga kali, apakah isterinya itu berhak mendapatkan nafkah?" Rasulullah saw menjawab: "Tidak, tidak wajib nafkah, hanya wajib iddah"(HR. Muslim).
عن مجاهد: أن ابن عباس سئل عن رجل طلق امرأته مائة, فقال: ((عصيت ربك, وفارقتك امرأتك)) وفى لفظ: أن رجلا طلق ألفا, قال: ((يكفيك من ذلك ثلاث)) [اخرجه الدارقطنى والبيهقى بإسناد صحيح]
Artinya: Dari Mujahid, bahwasannya Ibn Abbas pernah ditanya tentang laki-laki yang menceraikan isterinya seratus talak sekaligus. Ibnu Abbas menjawab: "Kamu telah berdosa kepada Tuhanmu, dan isteri kamu harus berpisah denganmu". Dalam riwayat lain dikatakan: "Seorang laki-laki menceraikan isterinya seribu talak, Ibn Abbas berkata; "Cukuplah itu sebagai talak tiga" (HR. Darul Quthni dan Baihaki dengan sanad shahih).
Pada Masa Umar bin Khatab juga yang lainnya, talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu majlis, dihitung sebagai talak tiga.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu tempat haram hukumnya, namun tetap dihitung sebagai satu kali talak saja. Pendapat ini adalah pendapatnya sebagian para sahabat seperti Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, dan para ulama lainnya seperti Daud ad-Dahiri, Malik, Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyyah serta yang lainnya. Di antara dalil yang dikemukakan kelompok ini adalah:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ (البقرة: 229)
Artinya: "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali" (QS.al-Baqarah: 229).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Talak Raj'I terjadi untuk talak dua yang disebutkan satu-satu dalam lain kesempatan. Oleh karena itu, talak tiga yang disebut dalam satu kali kesematan dan sekaligus tetap dihitung sebagai satu kali talak saja.
عن ابن عباس فى قصة ركانة, قال: طلق ركانة بن يزيد أخو بنى مطلب امرأته ثلاثا فى مجلس واحد, فحزن عليها حزنا شديدا, قال: فسأله رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((كيف طلقتها؟)) قال: طلقتها ثلاثا, قال: ((فى مجلس واحد؟)) قال: نعم, قال: ((فإنما تلك واحدة فأرجعها إن شئت)) [حديث ضعيف]
Artinya: Dari Ibn Abbas tentang kisah Rukanah. Ibn Abbas berkata: "Rukanah bin Yazid saudaranya Bani Muthalib mentalak tiga isterinya dalam satu majlis, tempat. Ia lalu menyesali hal itu dengan sangat. Rasulullah saw lalu bertanya kepadanya: "Bagaimana kamu mentalaknya?" Ia menjawab: "Saya mentalaknya tiga kali". Rasulullah bertanya kembali: "Apakah dalam satu tempat sekaligus?" Ia menjawab: "Ya". Rasulullah saw bersabda kembali: "Itu dihitung sebagai satu kali talak saja. Kembalilah kepadanya jika kamu mau" (Hadits Dhaif).
Dari ketiga pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa persoalan ini adalah persoalan ijtihadiyyah yang semuanya berdasarkan dalil dan pemahaman. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa pada asalnya talak tiga yang dijatuhkan sekaligus dalam satu tempat, dihitung sebagai satu kali talak saja. Ini adalah asalnya.
Hanya saja, seorang hakim atau mufti boleh saja berpendapat lain bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus dihitung sebagai tiga kali talak dengan dasar melihat kemaslahatan ummat saat itu. Misalnya, apabila pada kondisi tertentu masyarakat begitu mudah mengucapkan talak tiga sekaligus, maka hakim dapat memutuskan, talak tiga yang dijatuhkan sekaligus dihitung tiga kali talak, agar masyarakat lebih hati-hati dalam menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana berlaku pada masa Umar bin Khatab di mana setelah melihat kondisi masyarakat saat itu yang sangat mudah mengucapkan kata-kata talak tiga, ia berfatwa bahwa talak tiga sekaligus dihitung sebagai tiga kali talak. Dengan demikian masyarakat akhirnya berpikir dan tidak sembarang dalam menggunakan kata-kata talak tiga tersebut. Padalah, pada masa Abu Bakar Shidiq, talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu tempat tetap dihitung satu kali talak. Wallahu 'alam.

Khulu'
Pengertian Khulu'
Secara bahasa Khulu' berarti mencabut (an-anz'u), mengosongkan, mencopot (at-tajrid) dan menghilangkan (al-izalah). Sedangkan menurut istilah ahli fiqh, Khulu'' adalah:
وقوع الفرقة بين الزوجين بتراضيهما, وبعوض تدفعه الزوجة لزوجها
Artinya: "Terjadinya perceraian antara suami isteri dengan kerelaan keduanya, dimana si isteri membayarkan tebusan, uang ganti (iwadh) kepada suaminya".
Masih semakna dengan definisi di atas, adalah definisi berikut ini:
فراق الزوج امرأته بعوض, يأخذه الزوج منها أو من غيرها بألفاظ مخصوصة.
Artinya: "Suami menceraikan isterinya dengan jalan memakai uang tebusan yang diambil oleh suami dari isterinya atau dari selain isterinya dengan menggunakan kata-kata khusus".
Para ulama fiqih mengatakan bahwa mengapa disebut Khulu', lantaran Allah dalam firmanNya mengatakan bahwa hunna libasul lakum wa antum libasul lakum, " Isteri-isteri itu adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi mereka (para isteri)". (Qs. Al-Baqarah: 187). Apabila si isteri menggugat cerai kepada suaminya dengan jalan menebus dirinya dengan memberikan sejumlah uang sebagai iwad atau dengan jalan mengembalikan mas kawin yang diterimanya dahulu, dan si suami menerimanya, maka si isteri telah "mencopot pakaian" tersebut dan kini "pakaiannya" itu bukan "pakaian" pasangannya dahulu lagi.

Dalil disyariatkan (adanya) Khulu'
Di antara dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).

Hukum asal Khulu'
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hokum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah.
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:

عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3. Sunnah.
Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.



Apakah Khulu' itu dikategorikan sebagai talak atau fasakh?
Para ulama telah sepakat bahwa Khulu' apabila diucapkan dengan menggunakan kata talak namun tanpa memakai iwadh, atau dengan diniatkan untuk talak, maka dipandang sebagai talak bukan sebagai Khulu'.
Para ulama berbeda pendapat ketika Khulu' ini diucapkan dengan kata-kata selain kata talak, serta orang tersebut tidak berniat untuk talak baik secara sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran). Misalnya apabila si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya", lalu si suami mengatakan: "Saya talak kamu", dengan tanpa berniat untuk mentalaknya baik secara sharih maupun kinayah. Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan bahwa Khulu' tersebut dipandang sebagai Talak Ba'in. pendapat ini adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah, Malik dan Imam Syafi'i dalam qaul jadidnya (pendapat barunya). Di antara alasan kelompok ini adalah:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم جعل الخلع تطليقة بائنة (رواه البيهقى بسند ضعيف)
Artinya: "Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah saw menghitung Khulu' ini sebagai Talak Ba'in" (HR. Baihaki dengan sanad lemah).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Khulu' itu dihitung sebagai fasakh, bukan talak. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Syafi'i dalam pendapat lamanya (qaul qadim), Ibnu Abbas, Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara dalil dan alasan kelompok ini adalah:
Dalam al-Qur'an Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ.... وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (البقرة: 229-230)
Dalam kedua ayat di atas, Allah berfirman bahwa talak itu dua kali, kemudian Allah berfirman pada ayat selanjutnya tentang Khulu':
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
Kemudian Allah berfirman kembali:
َفإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقرة: 230)
Artinya: "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain" (QS. Al-Baqarah: 230).
Kalau seandainya Khulu' itu adalah talak, tentu jumlah talak semuanya akan berjumlah empat bukan tiga lagi. Dan tentu hal ini tidak tepat, karena talak hanyalah tiga kali. Dengan demikian, maka Khulu'' bukanlah talak akan tetapi fasakh. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman Ibn Abbas.
Alasan lainnya adalah riwayat berikut ini:
عن عكرمة عن ابن عباس قال: ((ما أجازه المال فليس بطلاق)) [رواه عبد الرزاق بسند صحيح]
Artinya: "Dari Ikrimah, Ibnu Abbas berkata: "Apa yang dibolehkan dengan membayar harta (Khulu''), maka bukanlah termasuk talak" (HR. Abdur Razaq dengan sanad Shahih).
Dari kedua pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengambil pendapat kedua, bahwa Khulu' bukanlah talak akan tetapi fasakh.

Akibat perbedaan di atas
Bagi mereka yang menghitung Khulu' sebagai fasakh dan bukan sebagai talak, maka ia tidak dihitung sebagai salah satu hitungan talak. Artinya, apabila ia mengKhulu' setelah menjatuhkan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan untuk menikahinya, karena Khulu' tidak dipandang sebagai talak, ia terpisah sebagai fasakh. Bahkan, sekalipun ia mengKhulu'nya seratus kali, maka tetap suami tersebut boleh menikahi kembali mantan isterinya itu.
Sedangkan bagi mereka yang memahami Khulu' sebagai talak, maka bagi suami yang telah mentalak isterinya dua kali lalu mengKhulu''nya, maka isterinya jatuh kepada talak Ba'in Kubra artinya si suami tidak boleh menikahi kembali isterinya itu sebelum isterinya menikah dengan laki-laki lain dan keduanya telah melakukan hubungan badan dengan sempurna. Hal ini lantaran Khulu' dihitung juga sebagai satu talak.

Rukun Khulu'
Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.
1. Rukun pertama adalah Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami).
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2. Rukun kedua adalah Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri).
Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.

3. Rukun ketiga adalah 'Iwadh (Uang ganti)
'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').
Apakah Khulu' boleh tanpa memakai Iwadh?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
1) Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
2) Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.
2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penuli lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.

Berapa jumlah minimal iwadh dalam Khulu' itu?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal benda atau harta yang dapat dijadikan iwadh oleh si isteri manakala ia mengajukan Khulu'. Secara ringkas, para ulama terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat pertama mengatakan, besarnya harus sama dengan besar mas kawin yang diterima si isteri dahulu. Apabila lebih dari mas kawin, hal ini tidak dipandang sebagai sunnah. Pendapat ini adalah pendapatnya Hanabilah, Ibnu Musayyib, Thawus, Zuhri dan Atha serta yang lainnya. Di antara dalil dan alasan kelompok ini adalah bahwa dalam hadits isteri Tsabit bin Qais sebagaimana telah disebutkan di atas, Rasulullah saw menyuruh isterinya Tsabit agar mengembalikan kebunnya yang dahulu dijadikan sebagai mas kawin. Dalam hadits ini Rasulullah saw tidak menyuruh atau tidak pula memandang bagus pemberian iwadh lebih dari jumlah mas kawin. Demikian juga, kelompok ini berargumen dengan salah satu sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdur Razak, hanya saja hadits ini Mursal, di mana Rasulullah saw mengatakan:
أما الزيادة من مالك فلا
Artinya: "Adapaun kalau iwadh itu melebihi hartamu (maksudnya mas kawin yang diterima si isteri), maka tidak boleh".
Pendapat kedua mengatakan bahwa iwadh itu boleh berapa saja, baik jumlahnya lebih kecil dari mas kawin maupun lebih besar dari mas kawin selama ada keridhaan antara suami isteri. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama di antaranya Imam Malik, Imam Syafi'i, Ibnu Hazm, Ibnu Umar, Ibn Abbas dan yang lainnya. Di antara dalil dan alasannya adalah:
1) Dalam ayat tentang Khulu' Allah berfirman: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ayat ini bersifat umum untuk semua tebusan dari si isteri baik jumlahnya lebih kecil dari mas kawin maupun lebih besar dari padanya.
2) Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن عبد الله بن عقيل أن الربيع بنت معوذ حدثته أنها اختلعت من زوجها بكل شيئ تملكه, فخاصمته فى ذلك إلى عثمان بن عفان فأجازه, وأمر أن يأخذ عقاص رأسها فما دونه
Artinya: "Dari Abdullah bin Aqil bahwasannya Rabi' bint Mu'awwadz menceritakan bahwasannya ia pernah mengajukan Khulu' kepada suaminya dengan iwadh semua benda yang dimilikinya. Rabi' lalu mengadukan hal itu kepada Utsman bin Affan, dan Utsman membolehkannya. Bahkan, ia memerintahkan juga untuk mengambil mengambil jepitan rambut atau yang lebih kecil nilainya dari itu".
Riwayat ini menunjukkan bahwa iwadh boleh dalam jumlah lebih dari mas kawin ataupun kurang dari itu, selama ada keridaan dari suami dan isteri. Fatwa Utsman ini tidak diingkari juga tidak diprotes oleh sahabat yang lain dan ini menunjukkan bahwa hal itu boleh-boleh saja.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa jumlah iwadhnya tergantung besar kecilnya nusyuz yang dilakukan oleh si suami atau si isteri. Pendapat ini adalah pendapatnya Madzhab Hanafiyyah. Dalam hal ini mereka mengatakan:
1) Apabila nusyuznya bersumber dari si suami, misalnya si suami tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada si isteri dengan baik, maka makruh bagi si suami untuk mengambil dan meminta iwadh dari si isteri. Hal ini didasarkan kepada firman Allah
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا (النساء: 20)
Artinya: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun" (QS. An-Nisa: 20).
2) Namun apabila nusyuz tersebut bersumber dari si isteri, maka si suami berhak mengambil iwadnya sejumlah mas kawinnya ataupun lebih dari mas kawinnya dahulu.
Dari ketiga pendapat di atas, penulis sepakat dengan pendapat Hanafiyyah dalam hal apabila nusyuznya datang dari si suami, maka makruh baginya untuk mengambil iwadh dari si isteri. Namun, apabila nusyuznya bersumber dari si isteri, si suami boleh meminta iwadh lebih dari jumlah mas kawin yang telah diberikannya dahulu, selama hal itu ada kerelaan dan kesanggupan dari pihak isteri. Hal ini karena ayat dan hadits yang berbicara tentang Khulu' bersifat umum, di mana tidak disebutkan jumlahnya secara nominal, dan karenanya hukumnya pun bersifat umum; berapapun jumlahnya sah-sah saja selama ada kesepakatan dan keridaan dari suami isteri bersangkutan.

Beberapa tambahan menyangkut iwadh:
1) Mahar yang muajjal (yang dihutang, belum dibayar) dapat dijadikan sebagai iwadh dalam Khulu'. Misalnya, apabila mahar si suami belum dibayar atau baru dibayar setengahnya, maka ketika si wanita mengajukan Khulu', si suami boleh meminta sebagai iwadhnya, sisa mahar yang belum dilunasinya dahulu. Dengan demikian, apabila hal ini disetujui oleh si isteri, maka mahar yang belum dibayar menjadi lunas seketika dan si suami tidak berkewajiban untuk membayarnya lagi. Hal ini lantaran mas kawin yang belum dibayar statusnya masih hutang bagi si suami dan hutang dipandang sebagai harta yang mempunyai kedudukan hokum. Karenanya, ia dapat dijadikan sebagai iwadh.
2) Iwadh juga dapat berupa manfaat. Misalnya, iwadhnya adalah si isteri harus menyusui putra si suami tadi, baik putranya itu dari si isteri yang mengajukan Khulu' maupun dari wanita lainnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Madzhab Malikiyyah dan Syafi'iyyah.
3) Iwadh tidak boleh berupa permohonan atau pengusiran si isteri dari rumahnya. Hal ini dikarenakan bahwa tinggalnya si isteri di rumahnya sampai masa Iddah habis dipandang sebagai hak Allah dan karenanya tidak dapat dijatuhkan oleh siapapun dan oleh apapun sebagaimana dalam firmanNya:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (الطلاق: 1)
Artinya: "Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang"(QS.Ath-Thalak: 1).

4. Rukun keempat adalah Shigat Khulu'
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'.
Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.

Apakah hakim dapat menjatuhkan Khulu' tanpa kerelaan dan izin dari si suami?
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam hadits Tsabit bint Qais dikatakan:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas, seolah dapat dipahami bahwa hakim (dalam hal ini Rasulullah saw) boleh memutuskan dan menjatuhkan Khulu' sekalipun tanpa idzin dari si suami.
Akan tetapi menurut Jumhur ulama, hadits di atas harus dipahami sebagai petunjuk dan upaya pendamaian (irsyad wa ishlah) bukan sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, menurut Jumhur, Khulu' tidak sah kecuali ada idzin dari si suami. Dalam hal ini Ibn Hazm pernah berkata:
فلها تفتدى منه, ويطلقها إن رضي هو
Artinya: "Isteri dapat menebus dirinya dari suami, dan si suami dapat menceraikannya apabila ada keridhaan dan idzin dari si suami".




Berapakah masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)?
Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:
1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]
Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
عن ابن عباس: ((أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة)) [رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: "Dari Ibn Abbas bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".
Dari kedua pendapat di atas, kelompok yang mengatakan bahwa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid lebih sesuai dengan tuntutan dalil di samping sesuai juga dengan hadits-hadits Marfu (hadits yang sampai kepada Rasulullah saw) dan sesuai pula dengan pendapat para sahabat. Wallahu 'alam.


Katamea, Ahad, 26 April 2009
Email penulis: aepmesir@yahoo.com


________________________________________
§ Makalah ini dipresentasikan pada acara pengajian Majlis Taklim al-Muttaqien, kelompok pengajian ibu-ibu KBRI Cairo yang diselenggarakan pada hari Selasa, 28 April 2009 di rumah ibu Hj. Burhan, Dokki, Kairo.

<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "pub-xxxxxxxxxxx";
google_ad_slot = "0976076963";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 60;
//-->
</script>
<script
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js" type="text/javascript">
</script>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di tunggu Komentnya.....