Selamat Datang di My Blog

Dengan membuka blog ini saya harap bisa saling berbagi...

Minggu, 31 Januari 2010

Teori Perkembangan Karir

Teori Perkembangan Karir
Diintisarikan dari Zunker, Vernon G. (1986). Career Counseling: Applied Concepts of Life Planning. Second Edition. Chapter 2: Theories of Career Development. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company
Oleh: Didi Tarsidi
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Artikel ini membahas teori-teori karir, teori pembuatan keputusan dan teori-teori dalam pendekatan perkembangan karir. Teori-teori karir yang dibahas mencakup teori trait-and-factor dan teori-teori yang dikembangkan oleh Ginzberg dan kawan-kawan, Ann Ann Roe, Donald Super, John Holland, dan David Tiedeman; sedangkan teori-teori pembuatan keputusan mencakup Gelatt Sequential Decision-Making Process dan pemilihan karir dengan pendekatan teori social learning. Teori pendekatan perkembangan karir mencakup pendekatan psikoanalisis, sosiologis, dan pendekatan learning.
1. Teori Trait-and-Factor
Di kalangan para pelopor teori konseling vokasional, Parsons (1909) berpendapat bahwa bimbingan vokasional dilakukan pertama dengan mempelajari individu, kemudian dengan menelaah berbagai okupasi, dan akhirnya dengan mencocokkan individu dengan okupasi। Proses ini, yang disebut teori trait-and-factor, secara sederhana dapat diartikan sebagai mencocokkan karakter individu dengan tuntutan suatu okupasi tertentu, yang pada gilirannya akan memecahkan masalah penelusuran karirnya। Teori trait-and-faktor ini berkembang dari studi tentang perbedaan-perbedaan individu dan perkembangan selanjutnya terkait erat dengan gerakan testing atau psikometri. Teori ini berpengaruh besar terhadap studi tentang deskripsi pekerjaan dan persyaratan pekerjaan dalam upaya memprediksi keberhasilan pekerjaan di masa depan berdasarkan pengukuran traits yang terkait dengan pekerjaan. Karakteristik utama dari teori ini adalah asumsi bahwa individu mempunyai pola kemampuan unik atau traits yang dapat diukur secara objektif dan berkorelasi dengan tuntutan berbagai jenis pekerjaan.
Pengembangan instrumen asesmen dan penyempurnaan informasi tentang okupasi terkait erat dengan teori trait-and-faktor. Perkembangan nilai-nilai individu dalam proses pembuatan keputusan karir juga merupakan faktor yang signifikan. Beberapa ahli berpendapat bahwa teori trait-and-factor mungkin lebih tepat disebut psikologi diferensial terapan.
Williamson merupakan seorang pendukung kuat konseling berdasarkan teori trait-and-factor। Penggunaan prosedur konseling Williamson menggunakan pendekatan trait-and-factor yang dikembangkan dari karya Parsons. Bahkan ketika diintegrasikan ke dalam teori-teori bimbingan karir lain, pendekatan trait-and-faktor memainkan peranan yang sangat vital. Dampak dan pengaruhnya terhadap perkembangan teknik-teknik asesmen dan penggunaan informasi tentang karir sangat besar.

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini asumsi dasar pendekatan trait-and-factor telah mendapat tantangan yang sangat kuat। Keterbatasan testing telah dibuktikan dalam dua proyek penelitian. Penelitian pertama dilakukan oleh Thorndike dan Hagen (1959), yang mengikuti pola karir 10.000 laki-laki yang telah diberi tes dalam angkatan bersenjata pada masa Perang Dunia II. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tes yang diberikan 12 tahun sebelumnya tidak akurat memprediksi keberhasilan karir karena berbagai alas an. Banyak individu yang menjabat pekerjaan yang tidak berhubungan dengan hasil pengukuran kemampuannya. Penelitian lain oleh Ghiselli (1966) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan prediksi keberhasilan dalam program pelatihan kerja berdasarkan hasil tes hanya moderat saja. Pada umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tes saja tidak memberikan cukup informasi untuk dapat memprediksi secara akurat keberhasilan karir di masa depan.
Pada tahun 1984, Brown berargumentasi bahwa teori trait-and-faktor tidak pernah sepenuhnya difahami. Dia mengemukakan bahwa para pendukung pendekatan trait-and-faktor tidak pernah menyetujui penggunaan testing secara berlebihan dalam konseling karir. Misalnya, Williamson (1939) mengemukakan bahwa hasil tes hanya salah satu cara saja untuk mengevaluasi perbedaan individu. Data lain, seperti pengalaman kerja dan latar belakang individu pada umumnya, merupakan faktor yang sama pentingnya dalam proses konseling karir.
Asumsi-asumsi berikut ini dari pendekatan trait-and-factor juga menimbulkan keprihatinan tentang teori ini: (1) hanya terdapat satu tujuan karir untuk setiap orang dan (2) keputusan karir terutama didasarkan atas kemampuan yang terukur. Asumsi-asumsi tersebut sangat membatasi jumlah faktor yang dapat dipertimbangkan dalam proses pengembangan karir. Pada intinya, pendekatan trait-and-faktor itu terlalu sempit cakupannya untuk dipandang sebagai teori utama perkembangan karir. Namun demikian, kita harus mengakui bahwa prosedur analisis okupasional dan asesmen baku yang menekankan pendekatan trait-and-faktor itu tetap bermanfaat dalam konseling karir.
Ginzberg et al। Ginzberg, Ginsburg, Axelrad, dan Herma (1951) pada umumnya dipandang sebagai ahli pertama yang melakukan pendekatan terhadap teori pilihan okupasi (occupational choice) dari sudut pandang perkembangan. Tim ini, yang terdiri dari seorang ekonom, seorang psikiater, seorang sosiolog, dan seorang psikolog, melakukan pengetesan dan mengembangkan sebuah teori pilihan okupasi.
Dalam mengembangkan teorinya, Ginzberg et al. menginvestigasi secara empirik sejumlah sampel yang memiliki kebebasan memilih suatu okupasi. Sampel tersebut terdiri dari laki-laki yang berasal dari kelas menengah ke atas di daerah perkotaan, dari keluarga Protestan atau Katolik keturunan Anglo-Saxon, yang tingkat pendidikanya berkisar dari kelas enam hingga pasca-sarjana. Karena pemilihan sampel tersebut sangat terbatas, maka konklusi hasil penelitian ini hanya dapat diaplikasikan secara terbatas pula. Secara spesifik, pola perkembangan karir perempuan dan etnik minoritas ataupun mereka yang berasal dari daerah pedesaan dan kaum miskin tidak menjadi bahan pertimbangan. Oleh karena itu, konklusi yang dihasilkan dari studi ini belum tentu dapat diaplikasikan pada populasi selain dari yang diwakili oleh sampel yang disebutkan.
Kelompok Ginzberg menyimpulkan bahwa pilihan okupasional merupakan proses perkembangan, yang pada umumnya mencakup kurun waktu selama enam hingga sepuluh tahun, yang dimulai dari sekitar usia 11 tahun dan berakhir sesudah usia 17 atau awal masa dewasa. Terdapat tiga periode atau tahapan dalam proses pemilihan okupasi yaitu periode fantasy, tentative, dan realistic Dengan karakteristik sebagai berikut.

Tahapan-tahapan atau Periode dalam Studi Ginzberg Periode Usia Karakteristik Fantasi Masa kanak-kanak (sebelum usia 11 tahun) Murni berorientasi bermain pada tahap awal.
Menjelang akhir tahap ini bermain menjadi berorientasi kerja. Tentatif Awal masa remaja (usia 11-17 tahun) Proses transisi yang ditandai oleh pengenalan secara gradual terhadap persyaratan kerja. Pengenalan minat, kemampuan, imbalan kerja, nilai dan perspektif waktu. Realistik Pertengahan masa remaja (usia 17 tahun) hingga awal masa dewasa Pengintegrasian kapasitas dan minat.
Kelanjutan perkembangan nilai-nilai. Spesifikasi pilihan okupasi. Kristalisasi pola-pola okupasi.
Menurut Ginzberg et al., selama periode fantasi, kegiatan bermain secara bertahap menjadi berorientasi kerja dan merefleksikan preferensi awal untuk jenis aktivitas tertentu. Berbagai peran okupasional tercermin dalam kegiatan bermain, yang menghasilkan pertimbangan nilai dalam dunia kerja. Periode tentatif terbagi ke dalam empat tahap: (1) tahap minat, di mana individu membuat keputusan yang lebih definitif tentang suka atau tidak suka. (2) Tahap kapasitas untuk menjadi sadar akan kemampuan sendiri yang terkait dengan aspirasi vokasional. (3) Tahap nilai, yaitu masa terbentuknya persepsi yang lebih jelas tentang gaya-gaya okupasional. (4) Tahap transisi, yaitu saat di mana individu menyadari keputusannya tentang pilihan karirnya serta tanggung jawab yang menyertai karir tersebut.

Periode realistic terbagi ke dalam tiga tahap. (1) Tahap eksplorasi, yang berpusat pada saat masuk ke perguruan tinggi. Pada tahap ini, individu mempersempit pilihan karir menjadi dua atau tiga kemungkinan tetapi pada umumnya masih belum menentu. (2) Kristalisasi, yaitu ketika komitmen pada satu bidang karir tertentu sudah terbentuk. Jika ada perubahan arah, itu disebut “pseudo-crystallization”. (3) Tahap spesifikasi, yaitu bila individu sudah memilih suatu pekerjaan atau pelatihan profesi untuk karir tertentu.

Kelompok Ginzberg mengakui adanya variasi individual dalam proses pembuatan keputusan karir. Pola individual perkembangan karir yang tidak sesuai dengan sebayanya disebut menyimpang. Terdapat dua penyebab utama penyimpangan itu, yaitu: (1) Keterampilan okupasional yang sudah berkembang dengan baik secara dini sering menghasilkan pola karir yang dini pula, yang menyimpang dari perkembangan normal; dan (2) Timing untuk tahap perkembangan realistic itu mungkin secara signifikan lebih lambat datangnya sebagai akibat dari variable-variabel tertentu seperti instabilitas emosi, berbagai masalah pribadi, dan kekayaan financial.

Dari penelitian ini muncul sebuah proses khas yang sistematis yang didasarkan terutama pada pola penyesuaian diri remaja yang mengarahkan individu ke pilihan okupasi. Pemilihan okupasi merupakan proses bertahap yang dinilai secara subjektif oleh individu yang bersangkutan dalam milieu sosiokulturalnya sejak masa kanak-kanak hingga awal masa dewasanya. Pilihan okupasi itu dirumuskan selama individu melalui tahapan-tahapan sebagaimana dideskripsikan dalam penelitian ini. Pada saat keputusan vokasional tentatif dibuat, pilihan-pilihan lain yang potensial dicoret.

Pada awalnya, Ginzberg et al. menyatakan bahwa proses perkembangan pembuatan keputusan okupasional itu tidak dapat diputar balik, yaitu bahwa individu tidak dapat kembali secara kronologis ataupun psikologis ke masa lalu untuk mengubah keputusannya. Konklusi ini kemudian dimodifikasinya: individu dapat mengubah keputusannya tetapi tetap menekankan pentingnya pilihan yang dilakukan secara dini dalam proses pembuatan keputusan karirnya.

Dalam kaji ulangnya terhadap teorinya, Ginzberg (1984) menekankan kembali bahwa pilihan okupasional merupakan proses pembuatan keputusan seumur hidup bagi mereka yang mencari kepuasan dari kerjanya. Ini berarti bahwa mereka harus senantiasa menilai ulang bagaimana mereka dapat meningkatkan kecocokan antara perubahan tujuan karirnya dengan realita dunia kerja.
Telah terdapat sejumlah evidensi yang mendukung prinsip utama dari teori ini. O’Hara dan Tiedeman (1959) menginvestigasi keempat tahap dari periode tentative (minat, kapasitas, nilai, dan transisi) dan menemukan bahwa tahap-tahap itu memang terjadi sesuai dengan urutan sebagaimana diteorikan, tetapi pada usia yang lebih dini. Studi oleh Davis, Hagan, dan Strouf (1962) dan Hollender (1967) cenderung mendukung postulat tentang konsep perkembangan vokasional, meskipun waktu dan urutan tahap-tahap tersebut belum sepenuhnya didukung.

Konseptualisasi perkembangan proses pembuatan keputusan karir tersebut sangat bertentangan dengan pendekatan trait-and-faktor. Meskipun belum sepenuhnya teruji, tetapi teori ini memberikan suatu deskripsi tentang suatu proses perkembangan untuk pola perkembangan vokasional yang normal maupun menyimpang. Teori ini lebih bersifat deskriptif daripada eksplanatori; artinya bahwa teori ini tidak memberikan strategi untuk memfasilitasi perkembangan karir ataupun penjelasan tentang proses perkembangannya. Tampaknya kegunaan utama dari teori ini adalah dalam memberikan satu kerangka baru untuk melakukan studi mengenai perkembangan karir.

A. Menurut Ann Roe

Hubungan dini di dalam keluarga dan pengaruhnya kemudian terhadap arah karir merupakan focus utama karya Ann Roe (1956). Analisis tentang perbedaan dalam kepribadian, aptitude, inteligensi, dan latar belakang yang mungkin terkait dengan pilihan karir merupakan tujuan utama penelitiannya. Dia meneliti sejumlah ilmuwan terkemuka dalam bidang fisika, biologi, dan social untuk menentukan apakah arah vokasional itu erat hubungannya dengan perkembangan dini kepribadian.

Roe (1956) menekankan bahwa pengalaman pada awal masa kanak-kanak memainkan peranan penting dalam pencapaian kepuasan dalam bidang yang dipilih seseorang. Penelitiannya menginvestigasi bagaimana gaya asuh orang tua (parental styles) mempengaruhi hierarkhi kebutuhan anak, dan bagaimana hubungan antara kebutuhan ini dengan gaya hidup masa dewasanya. Dalam mengembangkan teorinya, dia menggunakan teori Maslow tentang hierarchy of needs sebagai dasar. Struktur kebutuhan seorang individu, menurut Roe, sangat dipengaruhi oleh frustasi dan kepuasan pada awal masa kanak-kanak. Misalnya, individu yang menginginkan pekerjaan yang menuntut kontak dengan orang adalah mereka yang didorong oleh kebutuhan yang kuat untuk memperoleh kasih sayang dan mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok. Mereka yang memilih jenis pekerjaan non-orang akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada tingkat yang lebih rendah. Roe berhipotesis bahwa individu yang senang bekerja dengan orang adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang penuh kehangatan dan penerimaan, dan mereka yang menghindari kontak dengan orang adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang dingin dan/atau menolak kehadiran anaknya.

Roe (1956) mengklasifikasikan okupasi ke dalam dua kategori utama: person oriented dan nonperson oriented. Contoh okupasi yang person-oriented adalah: (1) jasa; (2) kontak bisnis (kontak dari orang ke orang, terutama dalam penjualan); (3) managerial; (4) kebudayaan umum; dan (5) seni dan hiburan.Contoh okupasi yang nonperson-oriented adalah dalam bidang: (1) teknologi; (2) pekerjaan di luar ruangan (pertanian, kehutanan, pertambangan, dsb.); dan (3) ilmu pengetahuan.

Roe (1956) berpendapat bahwa pemilihan sebuah kategori okupasi terutama didasarkan atas struktur kebutuhan individu tetapi tingkat pencapaian dalam suatu kategori lebih tergantung pada tingkat kemampuan dan latar belakang sosioekonomi individu. Iklim hubungan antara anak dan orang tua merupakan kekuatan utama yang membangkitkan kebutuhan, minat, dan sikap yang kemudian tercermin dalam pemilihan pekerjaan. Roe memodifikasi teorinya setelah beberapa studi menyangkal pendiriannya bahwa perbedaan interaksi orang tua-anak menghasilkan perbedaan dalam pemilihan pekerjaan. Kini dia mengambil posisi bahwa orientasi dini seorang individu terkait dengan keputusan utama yang diambilnya di kemudian hari — terutama dalam pemilihan okupasi — tetapi variable-variabel lain yang tidak diperhitungkan dalam teorinya pun merupakan faktor-faktor yang penting. Pernyataan-pernyataan berikut oleh Roe (1972) mengekspresikan pandangan pribadinya tentang perkembangan karir.
1. Riwayat kehidupan setiap laki-laki dan banyak perempuan, tentang atau seputar kisah pekerjaannya, dapat memberikan penjelasan tentang esensi orang tersebut secara lebih lengkap daripada menggunakan pendekatan lain.
2. Situasi yang relevan dengan riwayat ini dimulai dengan kelahiran individu itu ke dalam sebuah keluarga tertentu pada tempat dan waktu tertentu, dan berlanjut sepanjang hidupnya.
3. Mungkin faktor yang berbeda mempunyai bobot yang berbeda pula, tetapi pada esensinya proses keputusan dan perilaku vokasionalnya tidak berbeda.
4. Sejauh mana keputusan dan perilaku vokasional berada dalam control sadar individu itu bervariasi, tetapi individu dapat mempunyai lebih banyak control daripada yang dapat disadarinya. Pertimbangan yang sengaja tentang faktor-faktor tersebut jarang dilakukan.
5. Kehidupan okupasional mempengaruhi semua aspek lain dari pola kehidupan.
6. Pekerjaan yang tepat dan memuaskan dapat merupakan pencegah terhadap penyakit neurotic atau merupakan tempat pelarian dari kondisi tersebut. Pekerjaan yang tidak tepat atau tidak memuaskan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang parah.
7. Karena kebaikan hidup dalam suatu kelompok social tergantung pada dan juga menentukan kebaikan kehidupan setiap anggotanya, maka upaya suatu masyarakat untuk mempertahankan stabilitas dan kemajuan kea arah yang lebih baik mungkin dapat dicapai secara lebih baik dengan mengembangkan situasi vokasional yang memuaskan bagi para anggotanya daripada dengan cara lain. Tetapi ini tidak akan banyak berarti jika pekerjaan itu tidak diintegrasikan secara memadai ke dalam pola kehidupan secara menyeluruh.
8. Tidak ada suatu lowongan pekerjaan tertentu yang hanya cocok bagi satu individu tertentu saja. Demikian pula, tidak ada satu individu yang hanya cocok untuk satu pekerjaan tertentu saja. Dalam setiap pekerjaan terdapat banyak variabel yang menuntut persyaratan-persyaratan yang bervariasi pula.

Teori Roe ini biasanya disebut “a need-theory approach to career choice” (pemilihan karir dengan pendekatan kebutuhan). Menurut Roe, kombinasi antara hubungan orang tua-anak pada masa dini, pengalaman lingkungan, dan faktor-faktor genetic, menentukan perkembangan struktur kebutuhan itu. Individu kemudian belajar untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Intensitas kebutuhan merupakan faktor penentu utama yang memotivasi individu untuk mencapai tingkat hierarkhi yang lebih tinggi dalam suatu struktur pekerjaan.
Teori Roe telah membangkitkan banyak penelitian tetapi hanya sedikit saja yang hasilnya mendukung model teori tersebut. Postulat Roe bahwa interaksi orang tua-anak berpengaruh terhadap pilihan pekerjaan di kemudian hari ternyata sulit untuk divalidasi. Namun demikian, Roe telah memberikan kontribusi yang besar pada konseling karir yaitu dengan mengarahkan banyak perhatian pada periode perkembangan masa kanak-kanak.

B. Menurut Donald Supe
Pendekatan multidisipliner terhadap pengembangan karir yang dipergunakan oleh Super tercermin dalam minatnya terhadap psikologi diferensial atau teori trait-and-faktor sebagai media pengembangan instrument testing dan norma-norma asesmen yang menyertainya. Dia berpendapat bahwa psikologi diferensial sangat penting dalam upaya untuk memperkaya data tentang perbedaan okupasional yang terkait dengan kepribadian, aptitude, dan minat.
Teori self-concept merupakan bagian yang sangat penting dari pendekatan Super terhadap perilaku vokasional. Penelitian menunjukkan bahwa vocational self-concept berkembang melalui pertumbuhan fisik dan mental, observasi kehidupan bekerja, mengidentifikasi orang dewasa yang bekerja, lingkungan umum, dan pengalaman pada umumnya. Pada akhirnya, perbedaan dan persamaan antara diri sendiri dan orang lain akan terasimilasi. Bila pengalaman yang terkait dengan dunia kerja sudah menjadi lebih luas, maka konsep diri vokasional yang lebih baik pun akan terbentuk. Meskipun vocational self-concept hanya merupakan bagian dari konsep diri secara keseluruhan, namun konsep tersebut merupakan tenaga penggerak yang membentuk pola karir yang akan diikuti oleh individu sepanjang hidupnya. Jadi, individu mengimplementasikan konsep dirinya ke dalam karir yang akan menjadi alat ekspresi dirinya yang paling efisien.
Kontribusi penting lainnya dari Super adalah formulasi tentang tahapan perkembangan vokasional. Tahapan tersebut adalah:
1. Growth (sejak lahir hingga 14 atau 15 tahun), ditandai dengan perkembangan kapasitas, sikap, minat, dan kebutuhan yang terkait dengan konsep diri;
2. Exploratory (usia 15-24), ditandai dengan fase tentative di mana kisaran pilihan dipersempit tetapi belum final;
3. Establishment (usia 25-44), ditandai dengan trial dan stabilisasi melalui pengalaman kerja;
4. Maintenance (usia 45—64), ditandai dengan proses penyesuaian berkelanjutan untuk memperbaiki posisi dan situasi kerja; dan
5. Decline (usia 65+), ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan pra-pensiun, output kerja, dan akhirnya pensiun.

Tahapan perkembangan vokasional ini menjadi kerangka untuk perilaku dan sikap vokasional, yang dimanifestasikan melalui lima aktivitas yang dikenal dengan vocational developmental tasks. Kelima tugas perkembangan vokasional tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2: Tugas-tugas Perkembangan Vokasional dari Super

Tugas Perkembangan Vokasional
Usia
Karakteristik Umum
Kristalisasi
14-18
Periode proses kognitif untuk memformulasikan sebuah tujuan vokasional umum melalui kesadaran akan sumber-sumber yang tersedia, berbagai kemungkinan, minat, nilai, dan perencanaan untuk okupasi yang lebih disukai.
Spesifikasi
18-21
Periode peralihan dari preferensi vokasional tentatif menuju preferensi vokasional yang spesifik.
Implementasi
21-24
Periode menamatkan pendidikan/pelatihan untuk pekerjaan yang disukai dan memasuki dunia kerja.
Stabilisasi
24-35
Periode mengkonfirmasi karir yang disukai dengan pengalaman kerja yang sesungguhnya dan penggunaan bakat untuk menunjukkan bahwa pilihan karir sudah tepat.
Konsolidasi
35+
Periode pembinaan kemapanan karir dengan meraih kemajuan, status dan senioritas.

Kontribusi lainnya dari Super adalah konsep tentang pola karir. Dia memodifikasi enam klasifikasi yang dipergunakan oleh Miller dan Form dalam studinya tentang pola karir untuk laki-laki menjadi empat klasifikasi (lihat tabel 2.3). Super juga mengklasifikasikan pola karir untuk perempuan menjadi tujuh kategori (lihat tabel 2.4). Tabel 2.3: Pola Karir untuk Laki-laki (dari Super)

Klasifikasi Pola
Klasifikasi Karir
Karakteristik
Pola karir stabil
Profesional, managerial, pekerja terampil
Masuk ke dalam karir secara dini dengan sedikit atau tanpa masa percobaan.
Pola karir konvensional
Managerial, pekerja terampil, pekerja administrasi
Masa kerja percobaan diikuti dengan masuk ke dalam pola yang stabil.
Pola karir tak stabil
Pekerja semi-terampil, pekerja administrasi dan pekerja domestik
Beberapa pekerjaan dengan masa percobaan yang dapat mengarah pada pekerjaan yang stabil temporer, diikuti dengan pekerjaan dengan masa percobaan lainnya.
Pola karir jamak
Pekerja domestik dan pekerja semi-terampil
Karir tidak tetap yang ditandai dengan pekerjaan yang selalu berubah-ubah.
Tabel 2.4: Pola Karir untuk Perempuan (dari Super)

Klasifikasi Pola Karir
Karakteristik Umum
Pola karir ibu rumah tangga yang stabil
Menikah sebelum mendapatkan pengalaman kerja yang signifikan
Pola karir konvensional
Memasuki dunia kerja setelah pelatihan di SMA atau perguruan tinggi, sekedar untuk mengisi waktu luang sebelum menikah; Selanjutnya menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.
Pola karir kerja stabil
Memasuki dunia kerja sesudah mengikuti pelatihan dan memandang pekerjaannya sebagai karir seumur hidup.
Pola karir “double-track”
Memasuki karir sesudah pelatihan, lalu menikah dan memulai karir kedua dalam bidang kerumahtanggaan.
Pola karir terinterupsi
Memasuki dunia kerja lalu menikah dan melepaskan karir untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, dan mungkin kembali ke dalam karir tergantung pada situasi di rumah.
Pola karir tak stabil
Khas terjadi pada masyarakat sosioekonomi lemah, di mana polanya adalah: bekerja, PHK, menjadi ibu rumah tangga; dan kemudian siklus ini berulang lagi.
Pola karir “multiple-trial”
Tidak pernah mapan dalam satu karir, selalu berubah-ubah pekerjaan.

Super berpendapat bahwa penyelesaian tugas-tugas yang sesuai pada masing-masing tahapan merupakan indikasi kematangan vokasional (vocational maturity). Kematangan vokasional itu tampaknya lebih terkait dengan inteligensi daripada usia.
Hasil penelitian longitudinal (Super, 1951) yang mengikuti perkembangan sejumlah siswa kelas 9 menunjukkan bahwa berbagai ciri kematangan vokasional (seperti merencanakan, menerima tanggung jawab, dan kesadaran akan berbagai aspek pekerjaan yang disukai) tidak beraturan dan tidak stabil selama periode SMA. Akan tetapi, individu yang dipandang memiliki kematangan vokasional di kelas 9 (berdasarkan pengetahuannya tentang okupasi, perencanaan, dan minat) secara signifikan lebih berhasil ketika mereka mencapai awal masa dewasa. Hal ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan antara kematangan karir dengan pencapaian anak remaja dalam self-awareness, pengetahuannya tentang okupasi, dan kemampuannya dalam perencanaan. Jadi, perilaku vokasional di kelas 9 memiliki validitas prediktif untuk masa depannya. Dengan kata lain, individu yang berhasil menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada setiap tahapan cenderung mencapai tingkat kematangan yang lebih besar pada masa kehidupan selanjutnya.
Konsep kematangan karir yang dikembangkan oleh Super itu mempunyai implikasi yang besar bagi program pendidikan karir dan konseling karir. Fase-fase perkembangan kematangan karir merupakan titik di mana kita dapat mengidentifikasi dan mengases sikap dan kompetensi yang terkait dengan pertumbuhan karir yang efektif. Lebih jauh, gambaran tentang sikap dan kompetensi yang diharapkan dicapai dalam setiap tahap itu memungkinkan kita menentukan tujuan instruksional dan konseling yang dirancang untuk membantu perkembangan kematangan karir.
Super (1974) mengidentifikasi enam dimensi yang relevan dan tepat untuk remaja sebagai berikut:
1.orientation to vocational choice (dimensi sikap yang menentukan pilihan akhir pekerjaannya);
2.information and planning (dimensi kompetensi individu untuk memilih jenis informasi tentang keputusan karir masa depannya dan perencanaan yang sudah terlaksana);
3.Consistency of vocational preferences (konsistensi individu dalam pilihan karir yang disukainya);
4.Crystalization of traits (kemajuan individu ke arah pembentukan konsep diri); !
5.vocational independence (kemandirian dalam pengalaman kerja);
6.wisdom of vocational preferences (dimensi yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk menentukan pilihan yang realistic yang konsisten dengan tugas-tugas pribadinya).

Dimensi kematangan karir tersebut mendukung konsep bahwa pendidikan dan konseling dapat menjadi stimulus untuk perkembangan karir. Kematangan karir tidak hanya terkait dengan tugas-tugas perkembangan yang terselesaikan secara individual tetapi juga dengan perilaku yang dimanifestasikan dalam caranya melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu. Kesiapan individu untuk memasuki aktivitas yang terkait dengan karir tertentu memiliki nilai yang sangat berharga dalam proses konseling karir.
Aspek-aspek perkembangan dari teori Super memberikan penjelasan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi proses pemilihan karir. Dua prinsip dasar berikut ini dipergunakan dalam teori perkembangan pada umumnya:
(1) Perkembangan karir merupakan proses seumur hidup yang terjadi pada periode-periode perkembangan tertentu.
(2) Konsep diri terbentuk pada saat masing-masing fase kehidupan mendesakkan pengaruhnya pada perilaku manusia.
Super (1984) mengklarifikasi pandanganya tentang teori konsep diri bahwa pada esensinya konsep diri merupakan kecocokan antara pandangan individu terhadap atributnya sendiri dengan atribut yang dibutuhkan oleh sebuah okupasi. Super membagi teori konsep diri ke dalam dua komponen: (1) personal atau psikologis, yang berfokus pada cara individu memilih dan beradaptasi pada pilihannya; dan (2) sosial, yang berfokus pada asesmen pribadi yang dilakukan oleh individu terhadap situasi sosioekonominya dan struktur sosial di mana dia bekerja dan tinggal saat ini. Hubungan antara konsep diri dengan perkembangan karir merupakan salah satu kontribusi utama teori Super.
B. Menurut John Holland

Menurut John Holland (1973), individu tertarik pada suatu karir tertentu karena kepribadiannya dan berbagai variabel yang melatarbelakanginya. Pada dasarnya, pilihan karir merupakan ekspresi atau perluasan kepribadian ke dalam dunia kerja yang diikuti dengan pengidentifikasian terhadap stereotipe okupasional tertentu. Perbandingan antara self dengan persepsi tentang suatu okupasi dan penerimaan atau penolakannya merupakan faktor penentu utama dalam pilihan karir. Harmoni antara pandangan seseorang terhadap dirinya dengan okupasi yang disukainya membentuk “modal personal style”.
Orientasi kesenangan pribadi (modal personal orientation) merupakan proses perkembangan yang terbentuk melalui hereditas dan pengalaman hidup individu dalam bereaksi terhadap tuntutan lingkungannya. Sentral bagi teori Holland adalah konsep bahwa individu memilih sebuah karir untuk memuaskan orientasi kesenangan pribadinya. Jika individu telah mengembangkan suatu orientasi yang dominant, maka akan lebih besar kemungkinan baginya mendapatkan kepuasan dalam lingkungan okupasi yang sesuai. Akan tetapi, jika dia belum dapat menentukan pilihan, maka kemungkinan mendapat kepuasan itu akan hilang. Orientasi kesenangan pribadi yang didukung oleh lingkungan kerja yang sesuai akan menentukan pilihan gaya hidup individu.
Homogenitas okupasi merupakan jalan terbaik menuju selffulfillment dan pola karir yang onsisten. Individu yang mempunyai peran dan tujuan okupasional yang bertentangan dengan lingkungan akan mempunyai pola karir yang inkonsisten dan divergen. Holland menekankan pentingnya self-knowledge dalam upayanya mencari kepuasan dan stabilitas vokasional.
Berdasarkan konsep tersebut, Holland mengemukakan enam jenis lingkungan okupasional yang disenangi (modal occupational environments) dan enam orientasi kesenangan pribadi yang cocok dengan enam lingkungan tersebut, yang dirangkum dalam tabel berikut.Tabel 2.5: Gaya Kesenangan Pribadi dan Lingkungan okupasional dari Holland

Gaya Pribadi
Tema
Lingkungan Okupasional
Agresif, lebih menyukai tugas-tugas pekerjaan konkret daripada abstrak, pada dasarnya kurang dapat bergaul, interaksi interpersonal buruk
Realistic
Pekerja terampil seperti tukang pipa, tukang listrik, dan operator mesin. Keterampilan teknisi seperti juru mesin pesawat terbang, juru foto, juru draft dan pekerjaan servis tertentu.
Intelektual, abstrak, analitik, mandiri, kadang-kadang radikal dan terlalu berorientasi pada tugas
Investigative
Ilmiah seperti ahli kimia, ahli fisika, dan ahli matematik. Teknisi seperti teknisi lab, programmer komputer, dan pekerja elektronik.
Imaginatif, menghargai estetika, lebih menyukai ekspresi diri melalui seni, agak mandiri dan extrovert
Artistic
Artistik seperti pematung, pelukis, dan desainer. Musikal seperti guru musik, pemimpin orkestra, dan musisi. Sastrais seperti editor, penulis, dan kritikus.
Lebih menyukai interaksi sosial, senang bergaul, memperhatikan masalah-masalah sosial, religius, berorientasi layanan masyarakat, dan tertarik pada kegiatan pendidikan
Social
Edukasional seperti guru, administrator pendidikan, dan profesor. Kesejahteraan sosial seperti pekerja sosial, sosiolog, konselor rehabilitasi, dan perawat profesional.
Extrovert, agresif, petualang, lebih menyukai peran-peran pemimpin, dominant, persuasif, dan memanfaatkan keterampilan verbal yang baik
Enterprising
Managerial seperti menejer personalia, produksi, dan menejer pemasaran. Berbagai posisi pemasaran seperti salesperson asuransi, real estate, dan mobil.
Praktis, terkendali, bisa bergaul, agak konservatif, lebih menyukai tugas-tugas terstruktur dan menyukai aturan-aturan dengan sanksi masyarakat
Conventional
Pekerja kantor dan administrasi seperti penjaga waktu, petugas file, teller, akuntan, operator, sekretaris, petugas pembukuan, resepsionis, dan menejer kredit.
Dalam proses pembuatan keputusan karir, Holland berasumsi bahwa tingkat pencapaian dalam sebuah karir ditentukan terutama oleh individual self-evaluations. Intelegensi dipandang sebagai kurang penting dibanding kepribadian dan minat. Lebih jauh, faktor inteligensi sudah tercakup di dalam klasifikasi tipe-tipe kepribadian; misalnya, individu yang investigatif pada umumnya cerdas dan secara alami memiliki keterampilan penalaran analitik dan abstrak. Menurut Holland, stabilitas pilihan karir sangat tergantung pada dominansi orientasi personal individu, yang dipengaruhi oleh lingkungannya.
Teori Holland memberikan penekanan pada ketepatan self-knowledge dan informasi karir yang diperlukan untuk pembuatan keputusan karir. Dampaknya sangat besar pada prosedur asesmen minat dan prosedur konseling karir. Implikasinya untuk konseling adalah bahwa tujuan utama konseling adalah mengembangkan strategi untuk meningkatkan pengetahuan tentang diri, berbagai persyaratan okupasional dan berbagai macam lingkungan kerja.
D. Menurut David Tiedeman
Kunci Tiedeman dalam pendekatan konselingnya terhadap perkembangan karir adalah self-development dalam pengertian yang luas. Fokus utamanya adalah perkembangan kognitif total individu dan proses pembuatan keputusan yang dihasilkannya. Menurut Tiedeman, perkembangan karir terjadi dalam proses perkembangan kognitif secara umum ketika individu mengatasi krisis egonya yang relevan. Dia yakin bahwa perkembangan identitas ego merupakan faktor yang sangat penting dalam proses perkembangan karir.
Tahapan perkembangan karir parallel dengan tahapan perkembangan menurut orientasi teori Erikson (1950) yang terdiri dari delapan krisis psikososial sebagai berikut: (1) trust, (2) autonomy, (3) initiative, (4) industry, (5) identity, (6) intimacy, (7) generativity, dan (8) ego integrity. Self-in-situation, self-in-world, dan orientasi kerja berkembang pada saat individu mengatasi krisis psikososial dalam kehidupannya. Ketika ego identity berkembang, kemungkinan-kemungkinan pembuatan keputusan karir yang relevan juga berkembang.
Akhirnya dalam pembuatan keputusan karir, individu mencapai suatu titik yang oleh Tiedeman disebut differentiation dan integration. Diferensiasi adalah proses mengevaluasi self atau self-in-world melalui pengidentifikasian dan studi tentang berbagai aspek okupasi. Proses ini kompleks dan unik untuk masing-masing individu, tergantung pada potensi biologis dan struktur social lingkungannya. Pada saat struktur kognitif individu berkembang, dorongan untuk mencapai diferensiasi pun terbentuk, secara fisiologis ataupun psikologis. Aktivitas dalam lingkungan individu, termasuk pendidikan formal, memberikan stimulasi eksternal.
Salah satu tujuan utama diferensiasi adalah untuk mengatasi krisis trust-mistrust (Erikson, 1950) yang terkait dengan dunia kerja. Tiedeman dan O’Hara (1963) berasumsi bahwa masyarakat dan individu senantiasa berusaha kea arah satu tujuan yang sama: untuk saling memberikan makna. Pada esensinya, individu berusaha untuk berintegrasi ke dalam masyarakat — khususnya ke dalam suatu karir — untuk mendapatkan penerimaan oleh para anggota bidang karir tersebut namun tetap mempertahankan sebagian dari individualitasnya. Jika keunikan individu memperoleh kesesuaian dengan keunikan dunia kerja, maka integrasi, sintesis, keberhasilan, dan kepuasan akan menyertainya. Menurut Tiedeman, teori pemilihan okupasi dan perkembangan vokasional belum mengeksplorasi bagaimana proses evolusi diferensiasi dan integrasi dapat diaplikasikan pada perkembangan karir. Oleh karena itu, dia telah mengkonseptualisasikan sebuah pola atau paradigma problem solving sebagai mekanisme pembuatan keputusan karir. Paradigma tersebut mencakup empat aspek antisipasi atau preokupasi (exploration, crystallization, choice, dan clarification) dan tiga aspek implementasi atau penyesuaian (induction, reformation, dan integration), yang dirangkum dalam table 2.6 berikut ini
Tabel 2.6. Aspek Antisipasi, Preokupasi, Implementasi, dan Penyesuaian

Aspek Antisipasi atau Preokupasi
Karakteristik
Aspek Implementasi
Karakteristik
Eksplorasi
1. Berpikir agak temporer dan induktif. 2. Kemungkinan tindakan dipertimbangkan berulang-ulang. 3. Melalui imaginasi, individu mengalami berbagai aktivitas dengan mengaitkan perasaan self dalam struktur atau premis tertentu. 4. Melalui proyeksi, individu mencari tujuan-tujuan tentatif. 5. Terdapat fokus pada perilaku masa depan dengan beberapa alternatif tindakan. 6. Merefleksikan aspirasi, kemampuan, minat, dan implikasi sosial di masa depan yang terkait dengan pilihan karir.
Induksi
1. Dalam periode ini dimulai pengalaman interaksi sosial dan identifikasi karir. 2. Lebih jauh mengidentifikasi self dan mempertahankan self dalam sistem sosial karir. 3. Pada saat mengalami penerimaan dalam karir, bagian dari self berpadu dengan kelompok penerima. 4. Terdapat kemajuan dalam pencapaian tujuan individu tetapi dalam kerangka totalitas karir dengan tujuan sosialnya.
Kristalisasi
1. Asesmen terhadap berbagai alternatif terus dilakukan. 2. Mempertimbangkan beberapa alternatif. 3. Muncul beberapa alternatif pilihan. 4. Pilihan-pilihan tentatif mungkin direevaluasi dalam proses penilaian dan pengurutan. 5. Tujuan menjadi lebih pasti dan terbentuk tetapi ada kemungkinan untuk diubah. 6. Terdapat langkah yang pasti menuju stabilitas pemikiran.
Reafirmasi
1. Kelompok karir memberikan pengakuan dan penerimaan sebagai anggota kelompok. 2. Terdapat ketegasan di pihak individu di dalam maupun di luar kelompok karir, yang diperkuat oleh kondisi baru. 3. Terdapat tindakan asertif dalam bentuk upaya meyakinkan orang lain agar menyesuaikan dengan pandangan diri individu dan ke arah penerimaan yang lebih baik terhadap tujuan yang sudah dimodifikasi.
Pilihan
1. Memilih satu tujuan yang pasti. 2. Terfokus pada perilaku tertentu yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Integrasi
1. Kompromi dalam tujuan dapat dicapai oleh individu pada saat dia berinteraksi dengan kelompok karir. 2. Objektivitas self dan kelompok karir diperoleh. 3. Terjadi identifikasi terhadap seorang anggota kelompok karir. 4. Kepuasan dengan suatu tindakan tercapai, sekurang-kurangnya untuk sementara.
Klarifikasi
1. Periode ini ditandai dengan klarifikasi lebih lanjut tentang self dalam posisi yang dipilih. 2. Pertimbangan lebih lanjut tentang posisi yang diantisipasi mengurangi keraguan terhadap keputusan karir. 3. Keyakinan yang lebih kuat terhadap keputusan karir dikembangkan. 4. Ini mengakhiri tahap antisipasi atau preokupasi.
-
-
Kontribusi utama dari teori Tiedeman dan O’Hara (1963) adalah fokus pada peningkatan kesadaran diri (self-awareness) sebagai faktor yang penting dan diperlukan dalam proses pembuatan keputusan. Perhatian diarahkan pada upaya mempengaruhi perubahan dan pertumbuhan melalui penyesuaian terhadap kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam sistem sosial sebuah karir. Adaptasi dengan lingkungan kerja untuk mendapatkan afiliasi yang bermakna dengan kelompok sebaya juga mendapat penekanan. Teori ini mempunyai dampak yang penting terhadap proses pembuatan keputusan, tetapi dukungan data empiriknya masih sangat terbatas. Teori ini diformulasikan berdasarkan tahapan perkembangan menurut Erikson berdasarkan pengalaman vokasional lima orang laki-laki kulit putih.

1. Teori Keputusan

Teori keputusan adalah satu metode yang digunakan untuk menjelaskan proses pemilihan karir dan merupakan kerangka untuk merumuskan tujuan konseling. Teori keputusan didasarkan atas premis bahwa seorang individu mempunyai sejumlah opsi atau alternative yang dapat dipilihnya. Urutan peristiwa yang dapat mengarah pada sebuah keputusan mencakup: (1) mendefinisikan masalah, (2) merumuskan sejumlah alternative, (3) mengumpulkan informasi, (4) memproses informasi, (5) membuat rencana, (6) memilih tujuan, dan (7) mengimplementasikan rencana (Bergland, 1974; Herr & Cramer, 1984). Pentingnya pembuatan keputusan digarisbawahi oleh keyakinan bahwa ia merupakan proses seumur hidup.\Dalam bagian ini akan dibahas model pembuatan keputusan menurut Gelatt,pendekatan teori social learning dalam pemilihan karir, dan model pembuatan keputusan menurut Krumboltz dan Sorenson.

2. Teori Gelatt
Gelatt memandang system nilai sebagai bagian penting dari proses pembuatan keputusan. Model pembuatan keputusan menurut Gelatt mengemukakan konsep tentang serangkaian keputusan (immediate, intermediate, dan future), yang menunjukkan bahwa pembuatan keputusan merupakan proses yang berkelanjutan.
Terdapat lima langkah dalam proses pembuatan keputusan menurut Gelatt:
Langkah 1: Individu menyadari kebutuhannya untuk membuat keputusan dan selanjutnya menentukan tujuan.
Langkah 2: Individu mengumpulkan data dan melakukan survey untuk melihat berbagai kemungkinan tindakan. Pengumpulan data dipandang sebagai salah satu langkah terpenting karena pengetahuan tentang berbagai kemungkinan alternative itu sangat relevan dalam proses pembuatan keputusan. Alternatif informasi memberikan pengetahuan yang esensial termasuk tentang pekerjaan, persyaratan pendidikan dan pelatihan yang dipergunakan dalam pembuatan keputusan karir.
Langkah 3: Pemanfaatan data dalam menentukan rangkaian tindakan yang mungkin diambil dan hasil yang mungkin dicapai.
Langkah 4: Mengestimasi baiknya hasil yang akan dicapai, yang ditentukan oleh system nilai yang dianut individu.
Langkah 5: Mengevaluasi dan memilih sebuah keputusan, yang merupakan keputusan terminal atau keputusan investigatori. Kemudian individu mengevaluasi kembali hasil yang mungkin dicapai dengan keputusan itu dengan menggunakan system prediksi tertentu.

Model ini berimplikasi bahwa terdapat sekurang-kurangnya empat pertimbangan konseling yang penting sebagai berikut.
Pertama, Individu harus memiliki kesiapan untuk memulai proses pembuatan keputusan. Apakah konseli menyadari kebutuhannya untuk membuat keputusan? Apakah konseli sudah memiliki keterampilan untuk memanfaatkan sumber-sumber yang diperlukan dalam proses pembuatan keputusan?
Kedua, konseli harus memiliki self-knowledge. Apakah konseli sudah memiliki self-knowledge yang memadai tentang minat, kemampuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang relevan? Apakah konseli memiliki keterampilan untuk mengaplikasikan pengetahuan ini untuk mempertimbangkan berbagai alternatif?
Ketiga, pengetahuan individu mengenai kesempatan pelatihan/pendidikan dan lingkungan, persyaratan dan tuntutan pekerjaan.
Keempat, konseli harus memahami proses pembuatan keputusan.

3. Teori Social-Learning tentang Pemilihan Karir
Pendekatan teori social-learning dalam pemilihan karir telah dipelopori oleh Krumboltz, Mitchell, dan Gelatt (1975). Teori ini merupakan upaya untuk menyederhanakan proses pemilihan karir, terutama didasarkan atas peristiwa-peristiwa kehidupan yang berpengaruh terhadap penentuan pilihan karir. Dalam teori ini, proses perkembangan karir melibatkan empat faktor yaitu: (1) warisan genetic dan kemampuan khusus, (2) kondisi dan peristiwa lingkungan, (3) pengalaman belajar, dan (4) keterampilan pendekatan tugas.
Warisan genetic dan kemampuan khusus mencakup sejumlah kualitas bawaan yang dapat membatasi kesempatan karir individu.
Kondisi dan peristiwa lingkungan dipandang sebagai faktor yang berpengaruh yang sering kali berada di luar control individu. Peristiwa-peristiwa dan keadaan tertentu di dalam lingkungan individu mempengaruhi perkembangan keterampilan, kegiatan, dan pilihan karir.
Faktor ketiga, pengalaman belajar, mencakup pengalaman belajar instrumental dan asosiatif. Pengalaman belajar instrumental adalah yang dipelajari individu melalui reaksi terhadap konsekuensi, tindakan yang hasilnya dapat langsung teramati, dan melalui reaksi orang lain. Konsekuensi kegiatan belajar dan pengaruhnya terhadap perencanaan dan perkembangan karir ditentukan terutama oleh reinforcement atau nonreinforcement kegiatan tersebut, warisan genetic individu, kemampuan dan keterampilan khususnya, dan tugas pekerjaan itu sendiri. Pengalaman belajar asosiatif mencakup reaksi negative dan positif terhadap pasangan situasi yang sebelumnya bersifat netral. Misalnya, pernyataan”semua politisi tidak jujur” dan “semua banker kaya” berpengaruh terhadap persepsi individu tentang okupasi ini. Asosiasi seperti ini dapat juga dipelajari melalui observasi, bacaan, dan film.
Faktor keempat, keterampilan pendekatan tugas (tasks approach skills), mencakup keterampilan-keterampilan yang sudah dikembangkan oleh individu, seperti keterampilan problem-solving, kebiasaan kerja, mental sets, respon emosional, dan respon kognitif. Keterampilan-keterampilan ini menentukan hasil masalah dan tugas yang dihadapi oleh individu. Tasks approach skills sering kali termodifikasi akibat pengalaman yang bagus maupun jelek.
Krumboltz et al. menekankan bahwa pengalaman belajar yang unik dari masing-masing individu selama hidupnya menyebabkan berkembangnya pengaruh-pengaruh primer yang mengarahkan pilihan karirnya. Pengaruh tersebut mencakup:
(1) penggeneralisasian self berdasarkan pengalaman dan kinerja yang terkait dengan standar yang dipelajari,
(2) keterampilan yang dipergunakan dalam menghadapi lingkungan, dan
(3) perilaku memasuki karir seperti melamar pekerjaan atau memilih lembaga pendidikan atau pelatihan.
Pembentukan keyakinan dan generalisasi individu merupakan hal yang sangat penting dalam model social-learning. Peranan konselor adalah menelusuri asumsi-asumsi dan keyakinan individu dan mengeksplorasi alternative keyakinan dan tindakan yang perlu dilakukan. Membantu individu memahami sepenuhnya validitas keyakinan individu merupakan komponen utama model social-learning. Secara spesifik, konselor sebaiknya berusaha mengatasi masalah-masalah berikut:
1. Individu mungkin tidak dapat mengakui bahwa masalah yang dihadapinya dapat diatasi (mereka berasumsi bahwa sebagian besar masalah merupakan bagian dari kehidupan yang normal dan tidak dapat diatasi).
2. Individu mungkin tidak dapat melakukan upaya yang dibutuhkan untuk membuat keputusan atau memecahkan masalah (mereka tidak banyak berusaha mengeksplorasi alternatif).
3. Individu mungkin tidak menyadari adanya alternative yang memuaskan (mereka melakukan overgeneralisasi asumsi yang salah).
4. Individu mungkin memilih alternative yang buruk atau alas an yang tidak tepat (individu tidak mampu mengevaluasi karir secara realistic karena keyakinan yang salah dan ekspektasi yang tidak relistik).
5. Individu mungkin mengalami kekecewaan dan kecemasan akibat persepsi bahwa mereka tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya (tujuannya mungkin tidak realistik atau konflik dengan tujuan lain).

Krumboltz et al. juga memberikan beberapa observasi untuk konseling karir sebagai berikut:

1. Pembuatan keputusan karir merupakan keterampilan yang dipelajari.
2. Individu yang mengaku telah melakukan pilihan karir memerlukan bantuan juga (pilihan karirnya mungkin telah dilakukan berdasarkan informasi yang tidak akurat dan alternative yang keliru).
3. Keberhasilan diukur berdasarkan keterampilan yang telah ditunjukkan mahasiswa dalam membuat keputusan (diperlukan evaluasi terhadap keterampilan membuat keputusan).
4. Klien berasal dari berbagai macam kelompok.
5. Klien tidak usah merasa bersalah jika mereka tidak yakin tentang karir apa yang harus dimasukinya.
6. Tidak ada satu okupasi yang dapat dipandang tepat untuk semua orang.
4. Teori Psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisis pada dasarnya memperlakukan pekerjaan sebagai satu cara untuk memuaskan dorongan dan sebagai penyaluran untuk keinginan-keinginan yang tersublimasi (Osipow, 1983). Bordin, Nachmann, dan Segal (1963) menekankan pentingnya interaksi dini anak-orang tua yang mengakibatkan terbentuknya sebuah need hierarchy. Mereka berteori bahwa kebutuhan itu terbentuk menjelang usia enam tahun. Berdasarkan kerangka teori ini, pilihan okupasi dibuat untuk memuaskan kebutuhan ini dan oleh karenanya terkait erat dengan pengalaman masa kanak-kanak. Kontribusi utama dari teori ini adalah perhatian terhadap pentingnya perkembangan pada usia dini yang terkait dengan hubungan orang tua-anak.

Pendekatan Sosiologis atau Situasional Paradigma Blau-Gustad-Jessor-Parnes-and-Wilcox (1956), Hubungan antara Proses Pemilihan dan Proses Seleksi, merupakan sintesis pengaruh institusi social terhadap pilihan dan perkembangan karir. Model ini meletakkan penekanan pada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor psikologis, ekonimis, dan sosiologis sebagai penentu dalam pemilihan dan perkembangan okupasi. Karakteristik individu yang menentukan pilihannya bersifat biologis dan dikondisikan secara sosial melalui pengaruh keluarga, posisi dan hubungan social, dan karakteristik peran sosialnya. Pada akhirnya, individu mencapai suatu hierarkhi kesukaan yang salah satu di antaranya menjadi pilihannya.
Proses seleksi berkembang karena pengaruh-pengaruh yang terkait dengan kondisi sosial dan fisik seperti sumber-sumber yang tersedia, topografi dan iklim. Misalnya, seorang individu yang dibesarkan dalam lingkungan pedesaan yang keluarganya memiliki keadaan financial yang terbatas akan cenderung memilih sebuah okupasi pertanian, yang terkait dengan iklim (musim hujan yang panjang) dan topografi (dataran tinggi yang subur).
Faktor-faktor tersebut dipandang berada di luar kontrol individu tetapi merupakan penentu dalam proses seleksi. Asumsi-asumsi dasar lainnya dari pendekatan ini adalah:
(1)Terdapat struktur social yang menanamkan pola-pola kegiatan, identifikasi terhadap model, dan memberikan aspirasi di kalangan berbagai kelompok sosial; (2) Perkembangan karir merupakan proses yang berkelanjutan; dan (3)Kondisi situasional juga berpengaruh terhadap pola perkembangan karir.
Model ini efektif untuk mengklarifikasi unsure-unsur situasi dalam proses perkembangan karir. Pilihan karir dipandang sebagai serangkaian keputusan yang saling terkait yang melibatkan warisan biologis individu, lingkungan sosialnya, dan kondisi lingkungan.
Pendekatan teori BelajarO’Hara (1968) dan A. W. Miller (1968) menekankan prinsip-prinsip belajar sebagai dasar untuk keputusan vokasional yang efektif.

O’Hara mengemukakan postulat bahwa perkembangan karir pada dasarnya merupakan sebuah proses belajar. Karena proses pembuatan keputusan melibatkan apa yang sudah dipelajari oleh individu tentang karir, maka tingkat belajarnya itu akan menentukan keefektifan pilihan-pilihannya. Menurut O’Hara, tujuan vokasional akan terumuskan dengan baik apabila persyaratan-persyaratan pendidikan akademik terkait erat dengan persyaratan vokasional.
Dalam hal-hal tertentu, individu sebaiknya belajar mengeksplorasi dunia kerja dengan mempelajari kosa kata dan symbol-simbol okupasional yang menandai produk-produk atau pekerjaan tertentu. Dengan cara ini, individu dapat belajar membeda-bedakan dan mengintegrasikan berbagai informasi okupasional. Menurut O’Hara, pengenalan terhadap terminology dan orientasi okupasional akan lebih menjamin terbentuknya respon-respon vokasional yang memadai.
A. W. Miller (1968) juga meyakini bahwa teori belajar seyogyanya diaplikasikan dalam pembuatan keputusan karir. Dia berkonsentrasi pada hubungan antara perilaku yang secara konsisten dan signifikan terkait dengan pilihan okupasi. Terdapat empat kategori perilaku seperti itu:
(1) kegiatan fisik nyata (overt),
(2) pernyataan verbal nyata,
(3) perubahan emosional atau fisiologis tersembunyi (covert), dan
(4) respon verbal atau pemikiran tersembunyi. Fungsi teori pembuatan keputusan karir adalah untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol perilaku pembuatan keputusan.
Dalam pendekatan Miller, konselor berusaha mengidentifikasi perilaku yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Perilaku yang teridentifikasi tersebut memberikan petunjuk tentang peristiwa-peristiwa yang telah memotivasi perilaku itu. Setelah peristiwa-peristiwa tersebut terisolasi, maka akan memungkinkan mengontrol perilaku yang menggerakkan pembuatan keputusan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar dan modifikasi perilaku, kita akan dapat memprediksi perubahan perilaku. Pada esensinya, dengan informasi yang memadai tentang seorang individu, terdapat potensi untuk mengontrol perilaku yang terkait langsung dengan pembuatan keputusan. Bagi Miller, ini merupakan kekuatan utama pendekatan teori belajar.

Rangkuman

1. Teori trait-and-factor dikembangkan dari studi tentang perbedaan-perbedaan individu dan terkait erat dengan perkembangan tgerakan psikometri. Karakteristik kunci dari teori trait-and-faktor adalah asumsi bahwa individu mempunyai pola kemampuan atau traits yang unik yang dapat secara objektif diukur dan akhirnya dicocokkan dengan persyaratan kerja
2. Ginzberg, Ginsburg, Axelrad, dan Herma dipandang sebagai ahli pertama yang menggunakan pendekatan perkembangan terhadap teori pemilihan okupasi. Mereka mengemukakan bahwa pilihan okupasi merupakan proses perkembangan selama enam hingga sepuluh tahun, yang dimulai sekitar usia 11 tahun dan berakhir sekitar usia 17 tahun. Terdapat tiga periode atau tahap perkembangan yaitu fantasi, tentative, dan realistic.
3. Teori Roe berfokus pada hubungan dini dalam keluarga dan pengaruhnya terhadap arah karir. Roe menekankan pengalaman masa kanak-kanak merupakan faktor penting dalam kepuasan individu dalam pemilihan okupasinya. Roe mengklasifikasikan okupasi ke dalam dua kategori utama: person oriented dan nonperson oriented.
4. Super telah memberikan banyak kontribusi terhadap studi tentang perilaku vokasional termasuk formalisasi tahap-tahap perkembangan: growth, exploratory, establishment, maintenance, dan decline. Super memandang self-concept sebagai kekuatan vital yang membentuk pola karir yang diikuti individu sepanjang hidupnya. Hasil penelitian longitudinalnya mengungkapkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kematangan karir dan pencapaian remaja dalam kesadaran diri, pengetahuan tentang okupasi, dan kemampuan perencanaan.
5. Holland memandang pilihan karir sebagai ekspresi atau ekstensi kepribadian ke dalam dunia kerja, yang diikuti dengan pengidentifikasian terhadap stereotype okupasional tertentu. Holland memandang modal personal orientation sebagai kunci menuju pilihan okupasi individu. Sentral bagi teori Holland adalah konsep bahwa individu memilih karir untuk memuaskan orientasi kesenangan pribadinya. Holland mengembangkan enam gaya kesenangan pribadi dan enam lingkungan kerja yang cocok dengan gaya tersebut: realistic, investigative, artistic, social, enterprising, dan konvensional.
6. Tiedeman mengkonseptualisasikan perkembangan karir sebagai sebuah proses diferensiasi identitas ego yang berkelanjutan, memproses tugas-tugas perkembangan, dan mengatasi krisis psikososial. Aktivitas-aktivitas tersebut dipersepsi dalam kerangka tahapan waktu. Keputusan karir dicapai melalui pola pemecahan masalah yang sistematik yang mencakup tujuh langkah: (1) eksplorasi, (2) kristalisasi, (3) pilihan, (4) klarifikasi, (5) induksi, (6) reafirmasi, dan (7) integrasi.
7. Model pembuatan keputusan dari Gelatt mengilustrasikan bahwa pembuatan keputusan dan urutan proses pembuatan keputusan itu pada hakikatnya merupakan suatu siklus. Sistem nilai dipandang sebagai bagian penting dari proses pembuatan keputusan. Pengetahuan mengenai langkah-langkah proses pembuatan keputusan serta fleksibilitas yang diperlukan untuk menimbang berbagai alternative merupakan tujuan konseling yang penting menurut model ini.
8. Krumboltz, Mitchell, dan Gelatt mengemukakan postulat bahwa seleksi karir secara signifikan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa kehidupan. Empat dari faktor-faktor tersebut adalah (1) warisan genetic dan kemampuan khusus, (2) peristiwa dan kondisi lingkungan, (3) pengalaman belajar, dan (4) keterampilan pendekatan tugas. Pembuatan keputusan dipandang sebagai proses berkelanjutan seumur hidup.
9. Pendekatan psikoanalisis terhadap perkembangan karir memandang kerja sebagai cara untuk memuaskan dorongan dan merupakan penyaluran bagi keinginan yang tersublimasi. Pendekatan sosiologis atau situasional terhadap perkembangan karir menekankan hubungan timbale-balik antara faktor psikologis, ekonomi, dan sosiologis dari pilihan dan perkembangan okupasional. Pendekatan teori belajar pada dasarnya memandang perkembangan karir sebagai sebuah proses belajar. Misalnya, keterampilan dan peranan kerja dipelajari dan langsung diaplikasikan pada proses pembuatan keputusan

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Oleh: Ujang Sutaryat

A. Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1] Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.

Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2]

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.[3]

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.[4] Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[5]

B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6]

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]

2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]

3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.[10]

C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.

1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.[11]

Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). [12]

Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]

Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]

Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]

b. Pandangan tentang Eksistensi

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.[18]

Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]

· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.

· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).

· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.

c. Teodise

Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]

Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.[21]

2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22]

Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]

Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]

Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[26]

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.[27]

2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]
b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]

3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.[30]

4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[31]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32]

D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
2. Gerakan eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
3. Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi Jakarta:Bulan Bintang.


[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm. 190.
[7] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[8] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm. 193-194.
[10] Ibid, hlm. 194.
[11] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47.
[12] ibid, hlm. 48-49.
[13] Ibid, hlm. 49
[14] Ibid.
[15] Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[20] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan, Persoalan-persoalan, hlm. 388.
[22] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 95
[25] Ibid, hlm. 95-96.
[26] Ibid, hlm. 96.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm 100-102.
[29] Ibid, hlm. 102.
[30] Ibid, hlm. 106.
[31] Ibid, hlm. 106-108.
[32] Ibid, hlm. 108.

AL-UMǙR BIMAQÂŞIDIHÂ

AL-UMǙR BIMAQÂŞIDIHÂ
(الأمـوربمقاصـدها)
"SEGALA PERKARA TERGANTUNG KEPADA NIATNYA"
Oleh: Ujang Sutaryat

A. Pendahuluan

Manusia diciptakan Allah dengan mengemban tugas sebagai ḣalifah sekaligus hamba Allah yang harus mengabdikan diri ('ibâdah) kepada-Nya. Hal ini tercermin pada Firman Allah dalam Quran surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak Kamu ketahui."[1]

'Ibâdah sebagai tugas manusia dijelaskan dalam firman-Nya dalam Quran surat al-Żâriyât ayat 56:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".[2]
Suatu aktivitas muslim dapat dikategorikan ibadah jika dilandasi dengan niat yang iḣlâş, semata-mata karena Allah. Hal ini ditegaskan Allah dalam Quran surat al-Bayyinah ayat 5:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus".[3]

B. Pengertian Niat

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi'iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya قصـد الشئ مقترنا بـفعله)).[4] Sebagai contoh, di dalam shalat, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbîrat al-iḣrân القصد بالقلب ويجب أن تكون النية مقارنة للتكبير)).[5

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama, ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebisaaannya saja.

Dari penjelasan tentang niat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi niat itu adalah: (1) untuk membedakan antara 'ibâdah dan adat kebiasaan, (2) untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan, dan (3) untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[6]

C. Dasar Hukum Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ
Kaidah ini dilegimitasi oleh firman Allah dalam Quran, di antaranya:
1. Quran surat al-Bayyinah ayat 5:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus".[7]
2. QS. al-Aḣzâb ayat 5:
"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[8]

3. QS. al-Baqarah ayat 225:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun"[9]

4. QS. Ali 'Imrân ayat 145:
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[10]

Adapun dalam hadits Nabi, antara lain:
انماالأعمال بالنيات وانمالكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسولهومن كانت هجرته للدنيايصيبهاال امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه[11]
"Setiap perbuatan itu bergantung kepada niat-niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia, maka ia akan mendapatkannya danbarangsiapa berhijrah karena wanita, maka ia akan menikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya (HR. Bukhari Muslim dari 'Umar Ibn al-Ήaṭṭâb).

انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك[12]
"Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari).
من قتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو فى سبيل الله عزوجل[13]
"Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عيناه حتى أصبح كتب له مانوى[14]
"Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat malam, kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu Zâr).
نية المؤمن خيـرمن عمله[15]
"Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya" (HR. Tabrani dari Sahal bin Sa'id al-Sa'îdî).

D. Cabang-cabang Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ
1. العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني (pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya).[16] Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
2. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidah لاثواب الابالنية (tidak ada pahala kecuali dengan niat). Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawâ'id al-kuliyyah yang pertama sebelum al-umûr bimaqâsidihâ.[17] Sedangkan di kalangan maźhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-umûr bimaqâsidihâ, seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki yang dikutip oleh Djazuli.[18] Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية (tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya).
3. لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب (apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati).[19] Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.
4. لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله (tidak wajib niat ibâdah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.[20]
5. كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة (setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). Secara prinsip, setiap dua kewajiban ibâdah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.[21]
6. كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية (setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.[22]
7. مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
"Maksud dari lafaz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qâdi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qâdi".[23]
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
8. الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد (sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud)[24]. Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallâhi" atau "demi Allah saya bersumpah" dan seterusnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus iḣlâş, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
9. النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص (niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang ḣâs). Contoh: orang bersumpah tidak akan berbicara dengan orang, tetapi yang dimaksud adalah orang tertentu, yaitu Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad.[25]
10. مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر (Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal). Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.[26]
11. ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل (pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal).[27]
12. ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
"Sesuatu amal yang diatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal".[28] Contoh shalat berjama'ah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah Ali, maka tidak sah makmumnya.

E. Aplikasi Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ dan Pengecualiannya
Para fuqâha (ahli hukum Islam) memerinci masalah niat ini, baik dalam bidang ibadah mahzah, seperti ţahârah (bersuci), wudû, tayammum, mandi junub, shalat, qaşar, jama', wajib, sunnah, zakat, haji, saum, ataupun di dalam mu'âmalah dalam arti luas atau ibadah gair mahzah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, utang piutang, dan akad-akad lainnya. Dalam fiqih jinâyah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, sehingga Imam al-Suyûti mengatakan: "Apabila Kau hitung masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya".[29]

Jalaluddin al-Suyûti sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak mengisyaratkan bahwa urgensi niat dalam bab-bab fiqih adalah dapat menentukan status hukum suatu perbuatan sehingga dapat dibedakan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan lainnya walaupun secara lahir tampak sama. Niat menjadi penentu apakah shalat yang dilakukan itu wajib atau sunnah, zuhur atau asar, dan seterusnya. Niat juga menjadi penentu apakah pemberian seseorang itu hibah, sadaqah, pinjaman, atau zakat. Demikian pula dalam permasalahan qişaş, niat dapat menentukan macam-macam pembunuhan yang dilakukan seseorang, apakah sengaja, semi sengaja, atau kekeliruan. Bahkan niat pula dapat menjadikan perbuatan-perbuatan mubâh menjadi bernilai 'ibâdah (berpahala) jika perbuatan itu dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah.[30]

Rupanya yang paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak masalah-masalah fiqih yang di luar kaidah tersebut. Di antara kekecualian kaidah di atas, antara lain:
1. Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah, bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, ma'rifat, ḣauf, raja', iqâmah, aźân, źikir, dan membaca Quran kecuali apabila membacanya dalam rangka naźar;
2. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (harâm) karena dengan tidak melakukan tersebut, maksudnya sudah tercapai;
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan, bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.[31]

E. Kesimpulan

1. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama, ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebisaaannya saja.
2. Dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak masalah-masalah fiqih yang di luar kaidah tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Sirâzi, Abu Ishak. t.t. al-Muhazzab. Dâr-al-Fikr.
Al-Suyûti, Jalâludîn Abd al-Rahmân. 1399. al-Asbâh wa al-Nazâir fi Qawâ'id wa Furû' Fiqh al-Safi'î. Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah.
Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Ibn Isma'il al-Buhari, Abi Abdillah Muhammad. t.t. al-Buhâri. Jakarta: Sirkah Nur Asia.
Ibn Nuzaim al-Hanafi, Zayn al-'Âbidîn Ibn Ibrahîm. 1983. al-Asbâh wa al-Nazâir. Damaskus: Dâr el-Fikr.
Mubarak, Jaih dan Enceng Arif Faizal. 2004. Kaidah Fiqh Jinayah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Mudjib, Abdul. 2005. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih : al-Qawâ'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Kalam Mulia.
Soenardjo dkk. 1971. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma al-Malik Fahd.



[1] Soenardjo dkk., Al-Qur`an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma al-Malik Fahd. 1971), hlm. 13.
[2] Ibid hlm. 862.
[3] Ibid, hlm. 1084.
[4] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana. 2006), cet. ke-1, hlm.34.
[5] Abu Ishak al-Sirâzi, al-Muhazzab (Dâr-al-Fikr. t.t), juz ke-1, hlm. 70.
[6] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 35-36.
[7] Ibid, hlm. 1084.
[8] Ibid, hlm. 667
[9] Ibid, hlm. 54
[10] Ibid, hlm. 100
[11] Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma'il al-Buhâri, al-Buhâri (Jakarta: Sirkah Nur Asia. t.t), juz ke-1, hlm. 6.
[12] Ibid, juz ke-3, hlm. 286.
11 Ibid, juz ke-2, hlm. 139.
12 Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 38
13 Ibid, hlm. 39
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid.
[17] Zayn al-'Âbidin Ibn Ibrahîm Ibnu Nuzaim al-Hanafi, al-Aśbâh wa al-Nazâir (Damaskus: Dâr el-Fikr. 1983), cet. ke-1, hlm. 13
[18] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 39.
[19] Ibid, hlm. 40.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm. 41.
[23] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia. 2005), cet. ke-6, hlm.17
[24] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 41.
[25] Mudjib, Kaidah-kaidah, hlm. 17
[26] Ibid, hlm. 15.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm.16
[29] Jalaludin Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Nazair fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Safi'i (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah. 1399), cet. ke-1, hlm. 13.
[30] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004), cet. ke-1, hlm. 5-6.
[31] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 36-37.