Selamat Datang di My Blog

Dengan membuka blog ini saya harap bisa saling berbagi...

Jumat, 28 Mei 2010

Epson Printer


Epson Stylus NX110 All in One Printer
Printer Epson, baru-baru ini epson mengeluarkan produck yang kualitasnya sangat menarik dan terjagkau, pertama ketika saya melihat teman saya yang membeli printer epson ko di liat2 kurang menarik, ya itu mungkin krena sya belum tau.., tapi ternyata setelah sya tanya ma teman-teman saya memang katanya tiap printer itu mempunyai kekurangan dan kelebihannya tersendiri akan tetapai epson itu lebih bandel dan tidak rewel.., oleh karena itu jadi duech saya beli epson Stylus TX111, dan ternyata benar yang temen saya katakan, tidak rewel dan bandel, printernya kumplit scan, copy, and photo print..., bisa infush dan juga bisa yang suntik., emang sih pas ngprintx agak lambat kalau di bandingkan dengan yang lain, akan tetapai hasilnya bo.., bagus bener.., soklah pokonya kaga nyesel deach...., o iya ni sedikit informasi tentang EPSON STYLUS TX111:

Platform Multifunction  
Printing Method InkJet
  • On-demond ink jet (Piezoelectric)  
 
Max. Media Sizes A4  
Max. Resolution 5760  
Effective Print Resolution 5760 x 1440 dpi (with Variable Sized Droplet Technology)  
Print Speed Black 30 ppm 
Print Speed Color 15 ppm 
PC Connectivity USB  
OS Compatibility
  • Windows 2000/XP/XP x64 Edition/ Vista  
  • Mac OS 10.3.9 or later with USB  
 
Network Supports Not Available  
Input Tray #1 100 sheets  
Compatible Media Sizes A4, A5, A6, B5, 10x15 cm (4x6in), 13x18 cm (5x7in), Latter, Legal, Envelopes : #10 (4 1/8 x 9.5 in), DL (110 x 220 mm), C6 (114 x 162 mm)  
Duplex Printing Not Available  
Copier Function
  • Copy Speed
    • BLACK TEXT MEMO (A4) Approx 3 sec (Draft)  
    • COLOUR TEXT MEMO (A4) Approx 12 sec (Draft)  
     
 
Scanner Function
  • A4 Flatbed colour image scanner  
  • CIS Sensor Type  
  • 600 x 1200 DPI, 48 bits input, 24 bits output Optical Resolution  
  • Scanning Speed :
    • MONOCHROME A4 300dpi Approx 3mSec/line  
    • COLOUR A4 300dpi Approx 9mSec/line  
    • MONOCHROME A4 600dpi Approx 4mSec/line  
    • COLOUR A4 600dpi Approx 12mSec/line  
     
 
Power Consumption Approx. 13.9 W (Standalone copying, ISO10561 Letter Pattern)
  • AC100 ~ 120V: Approx 3.6W (Sleep Mode)  
  • AC220 ~ 240V: Approx: 3.7W (Sleep Mode)  
 
Weight 4.6 kg  
Warranty 1-year Limited Warranty by Authorized Distributor  

Penegak Hukum dan Kode Etik

A.    Penegak Hukum

a.       Arti penegak hukum

Pengertian penegak hukum dapat dirumuskan sebgai usaha melaksanakan hukum sebgai mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakan kembali. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:

a.       Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbut lagi (percobaan);

b.      Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);

c.       Penyisihan atau pengecuzlizn (pencabutan hak-hak tertentu);

d.      Pengenaan sanksi badan (pidana, penjara, pidana mati);

Dalam pelaksanaannya tugas penegekan hukum, penegakan hukum wajib menaati norma-norma yang telah ditetapkan. Notohamidjojo (1975) menggunakan empat norma yang penting dalam penegakan hukum, ytaitu: kemanusiaan, keadilan, kepatautan, dan kejujuran.

1.      Kemanusiaan

            Norma kemanusiaan menuntut agar dalam penegakan hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia yang memiliki keluhuran pribadi. Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan, artrinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai mahlik social. Martabat manusia yang terkandung didalam hak-hak manusia menjadi prinsip dasar hukum, yaitu dasar kenmanusiaan dal adil dan beradab.

            Manusia menuntut kodratnya adalah baik, namun kondisi hidup yang  kadangkala memaksa manusia  berbuatrjahat-justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Untuk mempertahankan hidup, maka dia mencuri hak orang lain walaupun dia sadar bahwa mencuri hak orang lain itu dilarang oleh hukum positif. Menurut pertimbangannya, daripada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang harus dipertahankan.



2.      Keadilan

Menurut Thomas Aquinas, keadilan adalah kebiasaan untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya berdasarkan kebebasan kehendak. Kebebasan kehendak itu ada pada setiap manusia. Hak dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat. Adanya hak mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap manusia melekat pada kodrat manusia itu sendiri,  bukan semata-mata berasal dari luar diri manusia . jadi, adanya hak itu dapat diketahui dari dua sisi. Pada satu sisi hak itu melekat pada diri karena kodrat manusia, sedangkan pada sisi lain hak itu merupakan akibat hubungan dengan pihak lain melalui kontrak, keputusan hukum. Hak karena kodrat bersifat mutlak, sedangkan hak karena kontrak, keputusan hukum bersifat relative.

Hak pada sisi pertama sering disebut hak kodrat yang berasal dari hukum kodrat (ius naturale). Hak pada sisi lainnya disebut hak kontrak yang berasal dari hukum positif. Thomas aquinus menyatakan bahwa segala sesuatu yang bertentengan dengan hak kodrat selalu dianggap tidak adil.  Manusia mempunyai hak kodrat yang berasal dari tuhan, tetapi juga mempunyai kewajiban kodrat terhadap orang lain. Apabila hak kodrat itu dijelmakan kepada hukum positif, maka segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum positif selalu dianggap tidak adil.

Keadilan merupakan salah satu bentuk kebaikan yang menuntun manusia dalam berhubungan sesama  manusia. Seorang disebut adil bila mengakui orang lain sebagai orang yang mempunyai hak yang seharusnya dipertahankan atau diperolehnya. Keadilan juga dapat dalam bentuk kewajiban, sebagai hutang yang harus dibayar kepada orang lain. Sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi sebagai pembayaran kembali untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi mengalihkan keadilan yang dirusak oleh pelaku kejahatan. John Kaplan seperti dikutip oleh muladi dan barda nawawi (1984) menyatakan, pemidanaan mengandung arti bahwa hutang penjahat telah dibayar  kembali.



3.      Kepatutan (equity)

            Pada dasarnya kepatutan merupakan suatu koreksi terhadap keadilan legal. Keadilan legal adalah keadilan yang menerbitkan hubungan  antara individu dan masyarakat atau Negara. Yang diperlukan oleh manusia adalah koreksi atau perhatian khusus kepada dirinya. Kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadaan manusia individual dalam penerapan keadilan, kepatutan merupakan kebaikan yang menggerakan manusia untuk berbuat secara rasional dan menggunakan keadilan. Kepatutan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama  dalam situasi dan kondisi khusus (notohamidjojo. 1971). Dengan menggunakan kepatutan, hubungan yang meruncing antara manusia dikembalikan kepada proporsi yang sewajarnya.



4.      Kejujuran

Penegak hukum harus jujur dalam menegakan hukum atau melayani pencari keadilan dan menjauhkan diri dari perbuatan curang. Kejujuran berkaitan dengan kebenaaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dn ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh  dilakukan. Kejujuran mengarahkan penegakan hukum agar bertindak benar, adil, dan patut. Kejujuran adalah kendali untuk  berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut hati nurani. Benar menurut akal diterima oleh hati nurani.

Penegak hukum yang jujur melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, dan itu menurut pertimbangannya adalah baik. Kejujuran itu dibuktikan  oleh:

1.      Perbuatan rasional (benar);

2.      Pelayanan terhadap pencari keadilan manusiawi (beradab);

3.      Bicaranya lemah lembut dan ramah (sopan);

4.      Wanita diperlakukan secara wajar dan sopan (senonoh);

5.      Pertimbangan berdasarkan hukum dan fakta (patut);



B.     KODE ETIK

            Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang  disepakati  untuk  maksud-maksud  tertentu,  misalnya  untuk  menjamin  suatu

berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi.  Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.

Kode etik ; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.  Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti.  Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis.  Supaya kode etik dapat berfungsi

dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik  itu dibuat oleh profesi sendiri.

Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu  dalam  merumuskan,  tetapi  pembuatan  kode  etik  itu  sendiri  harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan.  Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik  itu  sendiri  harus  menjadi  hasil  SELF  REGULATION  (pengaturan  diri)  dari profesi.



SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :

a.       Sanksi moral

b.      Sanksi dikeluarkan dari organisasi



Kasus-kasus  pelanggaran  kode  etik  akan  ditindak  dan  dinilai  oleh  suatu  dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu.Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan  professional.



Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi.  Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.  Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional



TUJUAN KODE ETIK PROFESI :

1.      Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.

2.      Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.

3.      Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

4.      Untuk meningkatkan mutu profesi.

5.      Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

6.      Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.

7.      Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

8.      Menentukan baku standarnya sendiri.

 

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :

1.      Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.

2.      Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.

3.      Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi.  Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang. 

Kindle Wireless Reading Device (6" Display, Global Wireless, Latest Generation)


Senin, 17 Mei 2010

RAGAM KALIMAT TALAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Talak merupakan perbuatan yang dibolehkan tetapi dibenci oleh Allah SWT, talak memiliki pengertian dari kata “Ithlaq” (الطَّلاَÙ‚ُ) yang menurut bahasa artinya melepaskan, yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Talak ini terjdi disebabkan terjadinya pertengkaran atau tidak ada keharmonisan lagi diantara suami istri tersebut. Yang tidak dapat didamaikan oleh juru damai dan tidak ada jalan lain selain talak.
Didalam talak terdapat beberap hal yang menyangkut tentang pengapliakasian talak, diantaranya adalah talak sharih dan talak kinayah. Talak sharih adalah talak yang diucapkan dengan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Sedangkan talak kinayah adalah talak yang diucapkan dengan kata-kata sindiran. Selain kedua hal diatas bahwa dalam pengaplikasian talak terdapat penagaplikasian talak dengan surat. Adapun yang menjadi permasalahan adalah apakah talak tersebut akan jatuh dengan cara penayampain talak seperti itu.
Pada jaman modern ini pengaplikasian talak tidak hanya dengan ucapan dan surat saja melainkan terdapat fenomena baru yang terjadi di masyarakat yaitu talak melalui sms (Short Message Service). Kontroversi cerai melalui SMS tersebut di Indonesia memang belum begitu populer, bahkan dari kalangan feminis dan lembaga-lembaga kewanitaaan pun belum kita dengar pandangan mereka tentang hal ini. Kontroversi ini bermula dari ulah seorang pria di Dubai Uni Emirat Arab yang tega menceraikan istrinya melalui pesan SMS karena kesal dengan lambatnya sang istri yang bunyinya. “Kamu saya ceraikan karena lambat!” Masalah tersebut akhirnya dibawa ke pengadilan dan diputuskan cerai (jatuh talak). Hal ini beralasan, bahwa menurut Kepala Bagian Talak-Rujuk di Pengadilan Dubai, Abdus Salam Darwish bahwa pengirim SMS terbukti memang suami yang sungguh-sungguh ingin menceraikan sang istri.
Hal ini selain terjadi di Dubai terjadi pula di Malaysia dan Singapore dan bahkan merambat ke Indonesia, akan tetapi tidak seramai di ketiga Negara tersebut. Dalam penentuan jatuh apa tidaknya talak maka dari makalah ini akan kami kaji sebisa mungkin.

BAB II
PEMBAHASAN
A. TALAK SHARIH
1. Pengertian Talak Sharih
Talak sharih adalah talak yang mudah difahami maknanya. Talak Sharih membawa maksud "nyata" atau "jelas". Yaitu talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya dengan kalimah yang jelas dan terang, lafaz seumpama ini hanya membawa maksud penceraian dan tidak ada pengertian yang selainnya, seperti kalimah "Talak" atau "Cerai".
Selain itu menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Jadi bahwa talak sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
1. Aku ceraikan kau dengan talak satu
2. Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau
3. Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.
2. Pendapat Para Ulama Dan Akibat Hukumnya
Mengenai perkataan talak sharih dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam kata talak tersebut, seperti halnya imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata-kata talak sharih itu hanya kata-kata “talak” saja, dan kata-kata selain itu termasuk “sindiran”. Sementara Imam Syafi’i dan segolongan Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa kata-kata talak sharih ada tiga, yaitu talak (cerai), firak (pisah), dan sarah (lepas). Mereka berpendapat bahwa kata-kata tersebut dikatakan jelas (sharih) karena terdapat dalam Al-Qur’an.
Selain itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”. Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.
B. TALAK KINAYAH
1. Pengertian Talak Kinayah
Kinayah yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainya, seperti perkataan “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya. Talak kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Talak Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan:
1. Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu
2. Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka
3. Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi
2. Pendapat Para Ulama Dan Akibat Hukumnya
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapatbahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan. Demikian menurut mazdhab Maliki dan Syafi’i r.a. berdasarkan hadis Aisyah r.a. riwayat Al-Bukhari dan lain-lain.

Artinya:
“Bahwa ketika anak perempuan Al-jun diantarkan kepada rasulullah SAW dan beliau mendekatinya, perempuan itu berkata aku berlindung kepada Allah darimu. Rasulullah SAW menjawab: engkau berlindung kepada yang maha agung, kembalilah kamu kepada keluargamu”.
Dalam hadis Bukhari Muslim lainya diterangkan tentang Kaab bin Malik yang membangkan perintah Nabi SAW maka beliau mengutus utusan untuk meneyampaikan pesa, agar Kaab berpisah adri istrinya. Kaab bertanya:

Artinya:
“saya harus menceraikan atau bagaimana”
Utusan itu menjawab, jauhilah istrimujangan engkau dekati dia. Maka Kaab bertanya pada istrinya:
Artinya:
“Kembalilah kamu kepada keluargamu.”
Dua hadis diatas menunjukan bahwa lafadz-lafadz kinayah akan menyebabkan jatuhnya talak apabila ada niat menceraikan dan tidak menjadi talak tanpa adanya niat.
Hal ini sependapat dengan Ibnu Taimiyah bahwa talak dianggap sah jika dilakukan dengan niat sengaja dan tanpa tekanan atau paksaan orang lain atau faktor-faktor ekternal yang menyebabkan dia mentalak istrinya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya. Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.
C. TALAK DENGAN SURAT, SMS DAN
Dalam hal aplikasi penyampain talak tidak hanya menyangkut perkataan saja, seperti halnya yang diterangkan diatas bahwa dalam penyampaian atau pengaplikasianya tidak hanya dengan ucapan saja seperti uapan talak sharih dan tahalak kinayah. Seiring dengan kemajuan IPTEK, pada saat ini talak tidak hanya melalui surat saja seperti halnya yang terjadi pada zaman Dulu. Akan tetapi pada zaman sekarang dalam hal penyampaiannya talak lebih modern, yaitu dengan cara talak Melalui SMS dan . Mengenai hal tersebut terjadi kontroversi di Masyarakat, apakah talak tersebut bias jatuh ataukah tidak?.
1. Talak Dengan Tulisan Atau Surat
Dalam hal ini bahwa talak dengan tulisan atau dengan surat dapat dianggap jatuh talak, sekalipun suami yang menulis surat tersebut dapat berbicara dalam artian tidak bisu dan dapat menucapkan talak. Dalam hal ini para ahli fiqih mensyaratkan. Hendaknya suratnya itu jelas dan terang. Yang dimaksud dengan jelas di sini ialah dapat dibaca atau tertulis di atas lembaran kertas. Selain itu, di dalam surat tersebut harus memuat matrai seperti halnya yang dilakuakan saat ini agar surat tersebut itu lebih kuat mengenai kekuatan hukumnya atau keabsahannya. Dan terang disini adalah ialah tertulis kepada alamat istri yang jelas.
Apabila surat tersebut tidak menunjukan alamat yang jelas. Misalnya hanya tertulis, “engkau saya talak” tanpa adanya alamat yang jelas dan tujuan yang jelas maka hal tersebut tidak jatuh talak, kecuali dengan niat. Akan tetapi sehubungan dengan pendapat tersebut tidak memungkinkan bahwa talaknya tersebut jatuh, walaupun tanpa niat seperti halnya hadis nabi Muhammad SAW.
Artinya:
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. Baersabda: “tiga perkara kesungguhannya dipandang benar dan main-mainnya dipandang benar pula, yaitu: nikah, thala dan ruju”.
Jadi bahwa Talak melalui surat dapat dilakukan dan sah apabila memenuhi 2 kriteria yaitu ; Tulisan yang jelas dan Ditujukan khusus kepada isterinya yang bersangkutan.
2. Talak Melalui SMS Dan
a) Pendapat Para Ulama
Fenomena talak Melalui SMS sebenarnya sudah terjadi lama seperti halnya yang terjadi di Dubai sebuah negara kawasan Teluk di Timur Tengah pada tahun 2001 bahkan sekarang Negara Dubai telah mengesahkan bahwa talak melalui sms atau itu sah jatuhnya talak. Begitu pula yang terjadi di Negara Malaysia dan Singapura, sedangkan di Indonesia talak melalui SMS masih dipertanyakan keabsahannya.
Meskipun demikian dengan disahkannya talak melalui SMS dalam kenyataannya masih banyak yang menolak tentang keabsahannya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama di Singapura yang tergabung dalam The Islamic Religious Council of Singapore (MUIS) menyatakan pernyataan cerai lewat SMS adalah tidak sah. Jurubicara MUIS menyampaikan kepada Reuters pada hari Rabu (27 Juni 2001) bahwa selama ini tidak ada kasus perceraian melalui SMS di Singapura. Hal ini dikarenakan ada 3 hal yang harus ada dalam perceraian yang tidak bisa dipenuhi dalam kasus "Cerai lewat SMS" yaitu bahwa seseorang tidak bisa yakin akan identitas si pengirim, yang tentu juga pada niatnya. Hanya hakimlah yang dapat memutuskann sebuah perceraian sesudah ada gugatan dari salah satu pihak dari pasangan suami isteri ke pengadilan agama.
Selain di Singapura penolakan juga terjadi Negara Malaysia seperti yang diutarakan Azalina Othman Said Ketua Puteri UMNO, organisasi sayap remaja putri partai yang berkuasa di Malaysia, itu meminta pemerintah tak memberlakukan lafaz (ucapan) cerai melalui short message service (SMS) di ''bumi semenanjung'' itu. Dalam pandangan Azalina, kebenaran lafaz talak melalui pelayanan SMS bisa disalahgunakan. ''Padahal, perceraian bukanlah suatu perkara yang patut dipermainkan,''
Di Indonesia Pakar perkawinan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, Drs. Achmad Faisol Haq, MAg, berpendapat. ''Dari segi hukum diperbolehkan, namun dari segi akhlak sangat tidak dibenarkan,'' Pendapatnya ini merujuk pada inti ajaran Islam, yakni akidah, amaliah (termasuk hukum), dan akhlak. Apabila melakukan talak melalui sms dari segi hukum memang sah akantetapi dari aspek etika bahwa talak melalui melalui sms tidak etis.
Pendapat berbeda datang dari guru besar Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Saad Wahid. Beliau berpendapat bahwa talak melalui SMS itu sudah memenuhi syar'i. Tapi, talak melalui SMS itu harus ditindaklanjuti sampai ke pengadilan agama.
Hal senada diutarakan KH Prof. Dr. Umar Shihab. Dalam pandangan Ketua Majelis Ulama Indonesia ini, talak itu prinsipnya harus dinyatakan. Bisa diucapkan secara lisan atau dalam bentuk tulisan. ''SMS sudah memenuhi ketentuan tulisan ini,'' katanya. ''Jadi, hukumnya tetap sah,'' ia menambahkan. Pada masa Rasulullah, menurut guru besar hukum Islam IAIN Makassar ini, talak belum pernah dilakukan dalam bentuk tulisan.
Di era kecanggihan teknologi ini, orang dimungkinkan bicara dari kejauhan menggunakan telepon. ''Tetapi, lebih baik talak dilakukan secara lisan,'' kata Umar. Perlu juga dihitung untung ruginya. Jika talak dilakukan dengan SMS, akan sulit terjadi dialog, apalagi menghadirkan saksi dan penengah. Sedangkan jika dengan cara lisan, menurut Umar, mengandung banyak hikmah. ''Suami bisa jadi menggagalkan niatnya untuk menalak setelah keduanya berdialog,'' katanya.
b) Keabsahan talak Melalui SMS
Talak melalui sms Sebagaimana diterangkan diatas telah menimbulkan terjadinya pro kontra dikalangan ulama, hal ini menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai keabsahan talak tersebut. Apabila kita kaji lebih dalam bahwa talak melalui sms memiliki kesamaan dengan talak melalui surat. Kedua hal tersebut memiliki intensitas yang sama yaitu berbentuk tulisan, sms merupakan singkatan dari “Short Message Service” yang artinya pesan singakat. Disana terdapat kata massage yang artinya surat, jadi dapat disimpulkan bahwa sms sama dengan surat.
Hukum talak (cerai) melalui SMS dapat dianalogikan/diqiyaskan dengan hukum cerai melalui tulisan surat biasa (bil kitabah) sebab ada kesamaan diantara keduanya, yaitu merupakan pesan cerai melalui teks yang bukan verbal (lisan). Menurut para ulama fikih (fuqaha) sepakat bahwa talak melalui surat itu efektif jatuh talak, begitu pula dengan talak melalui sms karena memiliki intensitas yang sama. Pernyataan pemerintah Dubai, sebuah negara kawasan Teluk di Timur Tengah mengenai perceraian bagi kaum muslim melalui SMS dilaporkan pada hari Selasa tanggal 26 Juni 2001. Abdul Salam Darwish, kepala departemen ketahanan keluarga pada pengadilan Dubai menyatakan ada 4 hal yang menjadi persyaratan yaitu :
1) Pengirimnya adalah sang suami
2) Dia harus punya niat/kehendak untuk bercerai
3) Kalimat yang diucapkan tidak boleh salah
4) Dan terakhir, sang isteri harus menerima pesan tersebut.
Bahwa talak melalui sms dalam aspek hukumnya jatuh karena memiliki kesamaan dengan surat asalakan memenuhi syarat-syarat yang telah diungkapkan diatas, sebagaimana dalam masalah cerai melalui surat, adalah akurasi kebenaran alamat atau nomor penerima dan pengirim serta konfirmasi niat atau kesengajaan penjatuhan talak. Bila hal itu memang terbukti benar adanya melalui pengecekan nomor telepon seluler keduanya dan konfirmasi langsung, maka jatuh talak satu. Akan tetapi, pada akhirnya bahwa talak tersebut tetap harus dikukuhkan dan konfirmasi ulang duduk masalahnya dipengadilan. Dan talak yang dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi modern adalah kaedah perceraian yang tidak menepati adab perceraian yang digariskan oleh syara. sebenarnya bila dapat dilakukan melalui media lain yang lebih gentle, ksatria, serta arif dan bijaksana tentunya penggunaan SMS untuk cerai tersebut sangat tidak manusiawi, tidak etis, dan tidak beradab. Karena tidak sesuai dengan prinsip agama Islam yang terlalu menyepelekan masalah.


BAB III
KESIMPULAN

Talak sharih adalah talak yang artinya lafadz yang digunakan itu jelas menyatakan perceraian misalnya: suami berkata kepada istri " engkau ku ceraikan " atau " menjatuhkan talak padamu". Maka jatuhlah talak tesebut tanpa adanya niat sekalipun. Sementara Talak Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan.
Kebanyakan Fuqahak berpandangan bahawa talak melalui tulisan hanya berlaku sekiranya disertai dengan niat. Ini adalah kerana tulisan adalah sama kedudukannya dengan kata-kata seseorang yang boleh difahami maksudnya. Walaupun Fuqahak sependapat bahawa talak boleh jatuh dengan perantaraan tulisan berdasarkan kriteria tertentu, mereka berbeza pandangan dalam menentukan kriteria tersebut: Tulisan yang jelas dan Ditujukan khusus kepada isterinya yang bersangkutan.
Bahwa talak melalui sms dalam aspek hukumnya jatuh karena memiliki kesamaan dengan surat asalakan memenuhi syarat-syarat: Pengirimnya adalah sang suami, dia harus punya niat/kehendak untuk bercerai, kalimat yang diucapkan tidak boleh salah, dan terakhir, sang isteri harus menerima pesan tersebut. Akan tetapi, Dan talak yang dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi modern adalah kaedah perceraian yang tidak menepati adab perceraian yang digariskan oleh syara. sebenarnya bila dapat dilakukan melalui media lain yang lebih gentle, ksatria, serta arif dan bijaksana tentunya penggunaan SMS untuk cerai tersebut sangat tidak manusiawi, tidak etis, dan tidak beradab. Karena tidak sesuai dengan prinsip agama Islam yang terlalu menyepelekan masalah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi. 2005, Panduan Fiqih Lengkap. Cetakan ke-1. Bogor: Pustaka Ibn-Katsir.

H.S.A. Alhamdani. 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, cetakan ke-3. Jakarta: pustaka amani. Terjemahan: Ustad Said Thalib Al-Hamdani.

Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid (analisa fiqih para mujtahid).Cetakan ke-3, Jilid ke-2. Jakarta: Pustaka Amani. Terjemahan: Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun.

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid ke-8. Bandung: PT. Alma’arif. Terjemahan: Mohammad Thalib.

http://app.syariahcourt.gov.sg/syariah/front-end/TypeOfDivorce_Talak_M.aspx di akses pada hari kamis tanggal 11 Februari 2010.

ttp://www.gatra.com/2001-07-18/artikel.php?id=8212 diakses pada Hari Sabtu 20 Februari 2010.

http://www.gufx.info/showthread.php?t=3727. Diakses pada hari Kamis 11 Februari 2010.

http://rizafauzia.blogspot.com/2009/02/hukum-cerai-lewat-sms.html Diakses pada Hari Rabu 24 Februari 2010.

Wali Nikah


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria.
Pada hakikatnya seorang perempuan harus ditikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antar keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendangan seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.
Berbeda pandangan mungkin hal yang wajar, tapi dampak dari hal itu dapat menggeserkan hak wali dari ayahnya kepada orang lain. Hal tersebut terjadi jikalau ayahnya sampai merasa enggan untuk menikahkan putrinya sehingga oleh hakim diputuskan sebagai wali adhal.
Perpindahan hak wali memang ada tingkatannya, tetapi kalau perpindahannya itu disebabkan oleh keengganan wali untuk menikahkan (adhal) maka tingkatan itu menjadi tidak berlaku, dan perpindahan hak untuk menikahkan langsung kepada wali hakim.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa arti Wali dalam Pernikahan?
2. Seperti apakah problematika wali dalam pernikahan?
3. Apa dampak yang ditimbulkannya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN URUTAN WALI NIKAH
Wali dalam pernikahan adalah yang menjadi pihak pertama dalam aqad nikah, karena yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai perempuan, atau yang melakukan ijab. Sedang mempelai laki-laki akan menjadi pihak kedua, atau yang melakukan qabul. Wali merupakan syarat sah pernikahan gadis, tanpa wali pernikahan tidak sah, kecuali menurut mazhab Hanafi yang mengatakan sah nikah tanpa wali.
Dalam sebuah hadist dikatakan "Janda lebih berhak atas dirinya dan gadis hanya ayahnya yang menikahkannya" (H.R. Daru Quthni). Dalam hadist Ibnu Abbas "Tidak ada nikah sah tanpa wali" atau “Nikah tidak sah tanpa wali”. (H.R. AHmad dan Ashab Sunan). Adapun urutan wali adalah sebagai berikut:
1. Ayah
2. Kakek (bapaknya bapak)
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki sebapak(lain ibu)
5. Anak laki-lakinya saudara laki-laki kandung (keponakan)
6. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sebapak
7. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
8. Paman (saudara laki-laki bapak sebapak)
9. Anak laki-laki dari paman nomor 6 dalam urutan ini
10. Anak laki-lakidari paman nomor 7 dalam urutan ini kalau semua wali tidak ada maka walinya adalah pemerintah (dalam hal ini KUA).
Madzhab Maliki memperbolehkan wali "kafalah", yaitu perwalian yang timbul karena seorang lelaki yang menanggung dan mendidik perempuan yang tidak mempunyai orang tua lagi, sehingga ia seakan telah menjadi orang tua perempuan tersebut.
Wali juga boleh diwakilkan, demikian juga pihak lelaki juga boleh mewakilan dalam melakukan akad nikah. Cara mewakilkan bisa dengan perkataan, misalnya wali mengatakan kepada wakilnya "aku mewakilkan perwalian si fulanah kepada saudara dalam pernikahannya dengan si fulan", atau juga bisa menggunakan tertulis dengan surat pewakilan. Surat pewakilan bersegel akan lebih baik secara hukum. Dalam mewakilan tidak disyaratkan menggunakan saksi.

B. CONTOH KASUS
Dalam makalah ini yang membahas tentang wali, kami akan mengambil contah kasus, yaitu kedudukan wali adhal dalam perkawinan EP dan WS di Kebon Pala Cibadak Sukabumi.

1. Factor Terjadinya Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan Ws
Kasus keenganan wali untuk menikahkan putrinya yang berada dibawah perwaliannya dewasa ini banyak terjadi, yang disebabkan oleh beberapa factor. Karena peningkatan taraf hidup masyarakat yang semakin tinggi, dan peningkatan itu menyebabkan penilaian seseorang terhadap orang lain berbeda-beda. Penilaian mengenai persamaan (kufu’) diantara laki-laki dan perempuan, ini banyak meynebabkan wali menghalangi perkawinan anak perempuan atau yang berada dibawahnya..
Ujang sudrajat adalah bapak kandung dari EP, pekerjaannya sehari-hari ialah berjualan dipasar. Atas pertimbangan dan keputusan Penadilan Agama Cibadak, ia dinyatakan sebagai wali yang adhal (enggan), karena walinya dinyatakan adhal maka perkawinan EP dan WS dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama setempat.
Adapun penyebab terjadinya wali adhal dalam perkawinan EP dan WS, berdasarkan dari keterangan Ujang Sudrajat (selaku wali adhal dalam perkawinan tersebut), adalah sebagai berikut:

1. Ahlak yang kurang baik
Berdasarkan keterangan dari Ujang Sudrajat. WS jika mau menemui EP tidak pernah datang langsung kerumah dan meminta izin kepadanya, mereka sering bertemu diluar. Ujang Sudrajat tidak suka terhadap ahlak WS yang dinilai olehnya kurang baik, apa lagi WS berani mengajak EP jalan-jalan hingga larut malam. Bahkan pernah sampai beberapa hari tidak pulang kerumah. Awalnya EP dikenal sebagai anak yang penurut dan pendiam, akan tetapi sejak kenal dengan WS sifat EP juga jadi berubah, ia jadi berani melawan jika dinasehati oleh ayahnya. (wawancara tanggal 26 desember 2005).

2. Pekerjaan
Idealnya seorang ayah menginginkan ananya menikah dan mendapatkan suami yang mencukupi semua kebutuhan dalam rumah tangga serta mempunyai penghasilan yang tetap (mapan). Dari keterangan ujang sudarajat, ia tidak suka kepada WS karena ia hanya seorang sopir angkutan yang pendapatannya sehari-harinya pun tidak tentu, menurutnya ia menginginkan EP menikah dengan laki-laki yang mempunya pekerjaan yang layak dan penghasilan yang tetap, sehingga ia tidak khawatir melepas anaknya untuk berumah tangga. (wawancara tanggal 26 desember 2005).

3. Hamil diluar nikah
Keengganan Ujang Sudrajat untuk menikahkan EP semakin memuncak ketika mengetahui EP telah hamil oleh WS. Ia sangat marah dan merasa dihianati oleh anaknya sendiri, karena telah mencoreng nama baiknya denagn melakukan perbuatan yang sangat memalukan sampai terjadi kehamilan. Kemudian ia mengusir EP karena merasa malu oleh masyarakat sekitar karena perbuatan EP, ia tidak mau mengakui EP sebagai anaknya. Ia berjanji tidak akan mau menjadi wali dan tidak akan pernah merestui pernikahan mereka. (wawancara tanggal 27 desember 2005).

4. Menginginkan pesta yang meriah
Berdasarkan dari keterangan Heri Suherli (kakak kandung WS) ketika ia hendak melamar EP bersama WS. Ujang sudrajat meminta kepada mereka agar dibawakan uang sebesar sepuluh juta untuk biaya pernikahan, karena menginginkan pesta pernikahan yang meriah itung-itung ganti rugi kekecewaannyaatas perbuatan mereka dan untuk menutupi rasa malunya terhadap masyarakat sekitar. Baru ia akan bersedia menjadi wali pada pernikahan mereka. Akan tetapi pihak keluarga WS tidak bersedia menyediakan uang sebesar itu, apa lagi WS sendiri tidak sanggup karena ia hanya seorang sopir angkutan. (wawancara tanggal 20 januari 2006).


2. Implikasi Terjadinya Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan WS
Terjadinya keengganan wali untuk menikahkan sering menibulkan dampak yang negative, impliakasi dari masalah tersebut mungkin saja akan menimbulkan masalah baru, seperti perbuatan yang melanggar Syar`i dan hasilnya memberi kesan negative yang terpaksa dihadapi oleh mereka yang terlibat, adapun dampak yang negative dapat dilihat dari berbagai segi, diantaranya:
1. Sosiologis, seperti kawin lari yaitu kawin tanpa restu orang tua
2. Psikologis, seperti berlaku konflik antara anak dan orang tua
3. Yuridis, seperti sanksi terhadap Wali yaitu ditetapkan sebagai Wali Adhal oleh Pengadilan Agama
Pada kasus perkawinan EP dan WS, yaitu bapaknya mengusir EP dari rumahnya karena ia telah hamil oleh WS, sementara bapaknya tidak menyetujui hubungan mereka. Akhirnya EP ikut bersama WS dan tinggal serumah hingga anak mereka lahir, padahal mereka belum menkah secara sah. Sehingga masyarakat emandang negative terhadap perbuatan mereka.
Implikasi dari kejadian tersebut adalah terputusnya hubungan tali silaturahmi antara EP dengan orang tuanya WS serta renggangnnya atau kurang harmonisnya hubungan antara mertua dengan menantu juga antara dua keluarga besar mereka (Keluarga Besan).
Tidak bisa dinafikan bahwa restu wali sangaat penting dalam membangun Rumah Tangga. Perkawinan tanpa orang tua kebanyakan memberi dampak negatifnya dari pada positifnya, baik terhadap pasangan itu sendiri, keluarga maupun masyarakat sekitar.
Perkawinan tanpa restu orang tua biasanya tidak bahagia, karena salah satu penyebab terciptanya kebahagiaan tergantung pada hubungan baik dengan orang tua. Sebagaimana kita ketahui bahwa rido orang tua merupakan rido Allah juga. Akan tetapi ada juga yang menikah tanpa restu orang tua teyap hidup bahagia namun hal ini jarang terjadi. Inilah yang dirasakan oleh pasangan EP dan WS yaitu menikah tanpa restu dari wali, karena meskipun pernikahan itu diakui dan sah menurut Hukum Syara` dan Negara tetapi tidak mendapat dukungan (restu) dari wali, jadi terpaksa mereka hidup mandiri tanpa dukungan dari keluarga wali.
Seorang wali tidak berhak menghalang-halangi anak dibawah perwaliannya untuk menikah dengan pilihannya, apalagi diantara mereka telah memenuhi syarat-syarat sehingga tidak terdapat halangan untuk melangsungkan pernikahan. Dengan menikah mereka dapat terhindar dari dosa yang berkepanjangan.
3. Tanggapan Pihak KUA Kecamatan Cibadak Terhadap Pelaksanaan Perkawinan EP Dan WS Dengan Adanya Wali Adhal.
Mengenai hubungan mereka (serumah) jika tidak segera dinikahkan dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar lagi, karena laki-laki dan perempuan serumah tanpa ikatan perkawinan kita tidak tahu apa yang mereka lakukan. Apabila sekali melakukan hubungan intim dan merasa enak, maka kesananya akan kecanduan yang tidak jauh beda seperti halnya merokok. Jika terjadi hal demikian bahkan sampai terjadi kehamilan maka si perempuan harus segera dinikahkan dengan orang yang menghamilinya, ini sesuai dengan kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1), (2), dan (3), yaitu:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
Setelah ada putusan dari Pengadilan Agama, kami dari pihak KUA tidaetk langsung menikahkan mereka, akan tetapi kami mencoba sekali lagi mendatangi Ujang Sudrajat untuk meminta kesediaannya menikahkan EP dengan WS, jika tetap bersikeras tidak mau maka kami terpaksa akan melaksanakan tugas yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama kepada kami. Kami beritahukan bahwa pernikahan mereka akan dilaksanakan hari minggu tanggal 26 juni 2005 jam 11 di KUA Cibadak, jika lewat dari jam 11 tidak hadir maka kami terpaksa akan menikahkan mereka dengan Wali Hakim kemudian ia menyanggupinya. Akan tetapi setelah kami tunggu sampai jam 11 Ujang Sudrajat tidak datang juga akhirnya kami menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Pengadilan Agama yaitu menikahkan mereka dengan Wali Hakim. (wawancara tanggal 17 januari 2006).

d. Analisis Terhadap Wali Adhal Dalam Perkawinan EP Dan WS
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya perkawinan menurut hukum islam, wali nkah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi`I tidak sah nikan tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut.
Menurut madzhab Hanafi, wali itu sunnah saja hukumnya. Disamping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang mengucapkan ikrar “ijab” dalam proses akad nikah ialah laki-laki. Tetapi kenepa dalam praktek selalu pihak wanita yang ditugaskan untuk mengucapkan ijiab (penawaran), sedang pengantin laki-laki diperintahkan mengucapkan kabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu, maka pengucapkan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali itu sebenarnya dari wakil perepuan, biasanya diwakili oleh ayhnya, bilamana tidak ada ayah dapat digantikan oleh kakek dari ayah. Wali nikah seperti ini disebut wali nikah yang memaksa (mujbir).
Mujbir maksudnya ialah apabila masih ada ayah, maka ayahlah yang berhak untuk menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya. Bila tidak ada ayah mungkin karena meninggal atau ghalib, maka kakek yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada ayah atau kakek maka dapat diwakilkan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin perempuan, bila tidak ada dapat pula diwakilkan kepada saudara laki-laki dari ayah (paman). Wali sesudah ayah dan kakek disebut wali nasab biasa (tidak memaksa).
Kadangkala keempat jenis laki-laki yang berhak menjadi wali nikah tersebut tidak ada, mungkin sudah menikah atau ghalib, atau mungkin juga ada akan tetapi tidak memenuhi ayarat-ayarat, atau bahkan ada tetapi enggan (adhal) menikahkan anak yang berada dibawah perwaliannya, maka dapat menggunakan wali hakim. Wali hakim adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih faham dengan walinya.
Kasus yang terjadi pada pasangan EP dan WS, yaitu adanya wali adhal dalam perkawinan mereka. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari hasil wawancara kepada para pihak yang bersangkutan, dapat disimpulkan bahwa tindakan tidak mau menjadi wali wajar saja (manusiawi), karena ia mungkin kecewa dan sakit hati atas tindakan putrinya yang sangat memalukan yang telah mencoreng nama baiknya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang Agama dan Negara tindakan Ujang Sudrajat memang salah. Karena ajaran islam menolak peminangan orang yang sudah cukup syarat-syaratnya, penolakan yang tidak beralasan atau merintangi terjadinya pernikahan akan membawa berbagai kemafsadatan dan cara apapun akan mereka tempuh, seperti halnya EP yang telah sangat mencintai WS sampai terjadi hubungan badan hingga hamil kemudian melahirkan seorang anak dan telah tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan. Jika tetap dibiarkan tidak dinikahkan, dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar, ini sesuai kaidah Fiqh yang berbunyi:

Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Dengan demikian jelaslah bagi penulis, bahwa keputusan yang dilakukan oleh majlis hakim Pengadilan Agama Cibadak atas perkara EP dan WS, telah sesuai dengan perundang-undangan dan Syari`at Islam, terutama tujuan yang terkandung dalam maqosi Al-Syari`ah yaitu hifdz Al-nashl (memelihara keturunan), sebab EP telah melahirkan seorang anak, jika tetap dibiarkan akan menyebabkan kemadharatan yang lebih besar lagi. Karena hanya dengan menikah akan terhindar dari perbuatan zina, dan anak-anak akan bangga karena dinasabkan kepada ayah-ayah mereka.
Para Ulama juga sependapat bahwa wali tidak boleh menolak (enggan) menikahkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarangnya kawin padahal yang akan mengawininya itu sudah sekufu` dan sanggup membayar maskawin.


BAB III
KESIMPULAN

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya dan tidak sah pernikahan jikalau tidak ada yang bertindak sebagai wali. Sabda rasul SAW:
Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali dan saksi yang adil
Hal diatas diperkuat keterangannya sebagai dasar hokum, sebagaimana yang tertera dalam KHI bagian ketiga tentang wali pasal 23 “Wali Hakim baru dapat bertindak sebagi Wali Nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. Akan tetapi apabila penyebabnya itu dikarenakan walinya itu adhal, maka tingkatan wali yang semistinya ada menjadi hilang dan perpidahannya langsuk kepada wali hakim, hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan persaudaraan diantara mereka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alhamdani, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani
2. Kompilasai Hukum Islam, cetakan ke 2, juni 2007, Fokus Media.
3. Rusyid Ibnu, 2007, Bidayah Mujtahid (Analisa fiqih para Mujtahid), Jakarta: Pustaka Amani.
4. Sulaiman Rasyid,2007, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo
5. Ghozali Abdul Rahman, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana


Hukum Kewarisan dalam Presfektif Hukum Antar Adat



BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Kita ketahui bahwa hukum waris ini telah diatur oleh agama sejak dahulu kala, mulai dari pembagiannya masing-mansing sampai dengan siapa yang berhak mendapatkan waris. Melihat banyaknya ragam adat di Indonesia yang tentunya berbeda antara tiap-tiap daerah, sehingga banyak diatara daerah-darah tersebut yang masih menggunakan hukum waris sesuai dengan adatnya masing-masing, tampa menggunakan hukum yang telah di tentukan dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Kenapa demikian, karena kebanyakan meraeka memandang bahwa hukum waris adat adalah hukum nenek moyang yang harus tetap di jalankan dan tidak boleh di rubah-rubah. Melihat keadaan hukum waris di Indonesia yang mengutamakan hukum adat, maka kami selaku mahasiswa syari’ah dan hukum akan memcoba membahas mengenai hukum waris di Indonesia dalam presfektif hukum adat.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris Adat
Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagamana telah dikemukakan di atas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang system dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini perhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.
TER HAAR menyatakan: hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke-abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.
SOEPOMO menyatakan: hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan perlihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Hukum waris adat itu mempunya corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaanya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersipat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup.
Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini Nampak sudah banyak kecendrungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggaan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa indosesia.
B. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hikum waris islam atau hukum waris barat seperti desebut di dalam KUH perdata, maka nampak perbedaan-perbedaanya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu di bagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terduiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemikikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh diniliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan di nikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH perdata alinea pertama yang berbunyi: “tidak seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat di gadai, jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalu akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketentanggan dalm kerukunan kekerabatan.
C. System Hukum Waris Adat
Kita ketahui bahwa hukum waris merupakan salahsatu bagian dari system kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari berbagai masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut system keturunan. Setiap system keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang berbeda satu sama lain yaitu:
1. System Kekeluargaan Patrilineal, yaitu system kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, dalam system ini kedudukan dan pengaruh pada pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin bukan merupakan ahli waris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat karo” khususnya dan dalam masyarakat batak umumnya. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu:
a. Emas kawin (tukur), yang membuktikan, bahwa perempuan di jual.
b. Adat lakoman (levirate) yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.
c. Perempuan tidak mendapat warisan.
d. Perkataan “naki-naki” menunjukan, bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dll
Akan tetapi ternya pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukan ketidak tahuan dan sama sekali dangkal, sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusastraan klasik karo kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun demikian kenyataan, bahwa anak laki-laki merupakan ahli earis pada masyrakat karo dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu:
a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah.
b. Dalam rumah tangga, istri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan kedalam keluarga (marga) suaminya.
c. Dalam adat wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya.
d. Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga, sebagai orangtua (ibu).
e. Apabila terjadi perceraian, suami istri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak Laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Meskipun demikian dalam adat di tanah karo, hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan pria berbeda dengan wanita, bukan berarti kaum wanita lebih rendah dari kaum pria sebab pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagi anak laki-laki dan perempauan dalam masalah waris, yaitu:
- Anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga (marga) mewaris harta benda yang menjadi tanda atau lmbang keluarga, terutama tanah dan benda-benda tidak bergerak lainnya.
- Anak perempuan mendapat pembagian yang adil untuk kepentingan sendiri dan rumahtangganya kemudian.
- Kemajuan jaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat benda serta harata pusaka sekarang, pada waktu yang akan datang, dan pada masa yang lampau sangat jauh berbeda sehingga harus ada penyesuaian pengertian tentang hal tersebut.
- Anggapan bahwa anak perempuan secara mutlak tidak berhak atas warisan orangtuanya, dewasa ini tidak sesuai lagi sehingga dianggap perlu penyesuaian.
- Anggapan bahwa hak waris anak laki-laki sma dengan hak waris anak perempuanjuga tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan adat di tanah karo sehingga tidak baik untuk di paksakan karena dapat merusak adat dan kebudayaan daerah tersebut.
Berkaitan dengan.hukum adat waris Tanah Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justeru menyetujui hal tersebut. Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas, antara lain:
1. "Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap ber1aku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya";
2. "Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan";
3. "Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orang tuanya". Terhadap pertimbangan putusan Mahkamah Agung di atas, ternyata tidak sedikit komentar dan tanggapan yang antara lain dikemukakan oleh Djaja S. Meliala dkk, sebagai berikut:
a. "Lazimnya suatu perubahan hukum dilaksanakan atas pertimbangan, bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat tempat hukum itu berlaku. Sebagai contoh hukum waris kolonial dirombak dan disesuaikan dengan kondisi nasional. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan suatu perubahan hukum di dalam hukum yang masih tetap hidup dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat (masyarakat Karo), dirombak dan digantikan dengan suatu hukum baru yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat”;
b. “Anggapan Mahkamah Agung, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari si pewaris bersama-sama berhak atas warisan sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, dipandang sebagai keliru sebab terdapat beberapa masyarakat di Indonesia ini dengan sistem unilineal yang kuat seperti Minangkabau, Batak, dan lain-lain yang memiliki sistem warisan berbeda dengan anggapan Mahkamah Agung” .
2. System kekeluargaan Matrilineal, yaitu system kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan (ibu), dalam system ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya, anak-anak menjadi ahli waris dari pihak perempuan/ garis ibu karena anak-anak merupakan dari keluarga ibunya, seperti terdapat pada masyrakat minangkabau. Dengan demikian, anak-anak hanya menjadi ahli waris dari dari ibunya sendiri, baika untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi.
Dasar hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula dari pepatah adat Minangkabau, yaitu pusaka itu dari nenek turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun itu bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka, misalnya gelar Datuk Sati. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan turun kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuan dan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.
Berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut hukum adat waris di daerah Minangkabau, pada tahun 1971 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional atau Babinkumnas) pernah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dengan hasil sebagai berikut:
a. Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, sedangkan harta yang diperoleh di luar harta pusaka itu boleh diwariskan kepada anak-anaknya;
b. Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengan tidak dipersoalkan apakah dibagi dengan sistem faraidh atau tidak, yang penting, bahwa harta pencaharian itu diperuntukkan guna kepentingan anak-anak;
c. Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia menguasai harta pusaka dan ia enggan untuk mengembalikan harta tersebut kepada kaum suaminya dan malahan dikatakan sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahli warisnya (kemenakan) suaminya, dalam hal demikian Kerapatan Nagari yang diberi wewenang memutus secara perdamaian;
d. Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh kepada anak-anaknya, melainkan harus pula jatuh kepada kemenakannya sebab mamak laki-laki itu tadi dibesarkan, dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah sewajarya jika kemenakan juga memperoleh bagian dari harta pencaharian;
e. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara harta pusaka dengan harta pencaharian sebab kedua-duanya merupakan hasil jerih payah yang diperuntukkan bagi kesejahteraan anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi pepatah adat "anak dipangku, kemenakan dibimbing", sehingga anak-anak yang termasuk suku ibunya dan kemenakan yang termasuk suku mamaknya, keduanya harus dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan dipertanggungjawabkan, baik fisik maupun rokhaninya. Demikian pula kemenakan yang termasuk kaum mamak harus dibimbing, artinya harus dipelihara sama dengan anak. Dengan demikian, seorang ayah yang sekaligus berkedudukan selaku mamak bagi kemenakannya harus memelihara anak-anaknya dan juga kemenakannya.
3. System Parental atau Bilateral, yaitu system yang menaik keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, didalam system ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sejajar.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dan system keturunan diatas, jelas bahwa keadaan hukum waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan hukum adat masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut. Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya "Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum Nomor 2 mengemukakan, antara lain: "...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang dianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak".
Disamping system kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga system kewarisan, yaitu:
a. Sistem Kewarisan Individual yaitu System kewarisan yang menunjukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya: jawa, batak, Sulawesi dll.
b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harata peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat di bagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris, contohnya “harta pusaka diminangkabau” dan “tanah dati di semenanjung hitu ambon”.
c. Sistem kewarisan Mayora, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Siatem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
1. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/ sulung atau keturunan laki-laki merupakn ahli earis tunggal dari sipewaris, misalnya di lampung.
2. Mayorat Permpuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat tanah semendo di Sumatra selatan.
Hazairin, di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu : "Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak, di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif yang terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Semendo dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara".
Memperhatikan pendapat Hazairin di atas, ternyata tidak mudah bagi kita untuk menentukan dengan pasti dan tegas bahwa dalam suatu masyarakat tertentu dengan sistem kekeluargaan yang berprinsip menarik garis keturunan, memiliki sistem hukum adat waris yang mandiri yang berbeda sama sekali dengan sistem hukum adat waris pada masyarakat lainnya. Namun tidak demikian halnya sebab mungkin saja sistem kekeluargaannya berbeda, sedangkan sistemhukum adat warisnya memiliki unsur-unsur kesamaan. Oleh karena itu, sebagai pedoman di bawah ini akan dipaparkan tiga besar sistem hukum adat waris yang sangat menonjol yang erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan, sehingga akan dapat diketahui mengenai sistem hukum adat warisnya yang ada pada sistem kekeluargaan tersebut.
Secara teoretis di Indonesia sesungguhnya di kenal banyak ragam sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol dalam percaturan hukum adat ada tiga corak, yaitu: (1) Sistem patrilineal, dengan contoh yang sangat umum yakni Tanah Batak; (2) Sistem matrilineal, dengan contoh daerah Minangkabau, dan (3) Sistem parental, yang dikenal luas yakni Jawa.
D. Pewarisan Adat
Pewarisan adat senantiasa dapat berubah mengikuti dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan para waris dan perkembangan jaman. Sehingga pewaris dapat saja terjadi sebelum pewaris wafat dan setelah pewaris wafat.
a. Sebelum pewaris wafat
1. Penerusan kedudukan atau jabatan
Adapun pewaris yang berkedudukan pengaku kedudukan/ jabatan adat sudah lanjut usia dan sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugas-tugas adat, maka dengan kesepakatan kerabatnya ia dapat meneruskannya dan mengalihkan kedudukan jabatan tersebut kepada ahli warisnya sesuai dengan tatatertib dan ketentuan adat setempat.
2. Harta Pusaka
Harta pusaka merupakan harta peninggalan yang turun temurun dari beberapa generasi dan pada umumnya sebagai milik bersama kerabat yang tidak terbagi-bagi pemilikannya, ia merupakan hak kebendaan kolektif yang menunjukan keutuhan keranbat bersngkutan dari satu ketur unan leluhur pria atau wanita.
3. Harta bawaan
Harta bawaan sebagai harta peninggalan merupakan harta yang di bawa masuk dalam ikatan perkawinan pewaris suami-istri . yang merupakan pemberian orang tua atau kerabat. Mungkin juga ada hasil jerih payah si istri ketika masih gadisnya. Dan jika harta bawaan itu telah menyatu dengan harta pencarian yang merupakan harta bersama, maka dalam hal ada hutang pewaris ketika hidupnya, maka harta bawaan itu dapat diperhitungkan untuk melunasi hutang-hutang pewaris sebelum harta peninggalan itu diteruskan untuk dibagi-bagikan.
4. Harta pencarian
Harta pencarian sebagai harta peningalan adalah harta yang di dapat atas usaha jerih payah bersama dalam ikatan perkawinan. Hubungan hukumnya hanya menyangkut suami istri tidak bnyak melibatkan orang tua kedua pihak atau kerabat.
5. Lintiran
Apabila terjadi pemberian harta peninggalan yang pengalihan haknya kepada waris ketika pewaris masih hidup sudah terjadi maka perbuatan hukum tersbut dalam istilah jawa di sebut lintiran.
6. Penunjukan
Apabila bagian-bagian harta peningglan tertentu telah ditunjukan bagi para waris yang akan mewarisi oleh pewaris ketika ia masih hidup. Tetapi peralihan hak miliknya baru terjadi setelah pewaris wafat. Dalam hal ini penguasaan harta masih menjadi milik pewaris sepenuhnya sampai ia meninggal.
7. Hibah wasiat
Yaitu pemberian bagian harta peninggalan tertentu yang di berikan oleh pewaris kepada orng lainnyang bukan ahli warisnya dan peralihan hak miliknya berlaku setelah pewaris wafat.

b. Sesudah pewaris Wafat
1. Penguasaan Harta
Di lingkungan masyarakat matrilineal seperti minangkabau , penguasaan harta pusaka di pegang oleh Tungganai/ Mamak Kepala waris. (pemuka Adat).
2. Penguasaan orang tua,
Jika di dalam harta peninggalan terdapat harta pusaka milik bersama anggota kerabat, maka dalam penguasaannya di pengang oleh ayah atau ibu pewaris.
3. Penguasaan anak
Apabila salah seorang dari ayah atau ibu sudah pikun tidak apat lagi menjalankan suatu perbuatan hukum dengan baik. Dan diantara anak sudah ada yang dewasa maka dengan upacara adat atau tamapa upacara adat setempat, kesemua harat peningalan pewaris dikuasai oleh anak, menurut sususnan kekerabatan masing-masing.
4. Penguasaan kerabat
Apa bila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali maka harta waris di kuasai oleh kerabat terdekat dengan pewaris, dengan memperhatikan susunan kekerabatan msing-masing termasuk kerabat besan kedua pihak.
5. Penguasaan persekutuan adat
Apabila seseorang meninggal tampa mempunyai ahli waris sama sekali.





BAB III
KESIMPULAN

Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu di bagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Kita ketahui bahwa hukum waris merupakan salahsatu bagian dari system kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari berbagai masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut system keturunan. Setiap system keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang berbeda satu sama lain yaitu:
1. System Kekeluargaan Patrilineal, yaitu system kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, dalam system ini kedudukan dan pengaruh pada pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin bukan merupakan ahli waris.
2. System kekeluargaan Matrilineal, yaitu system kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan (ibu), dalam system ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya, anak-anak menjadi ahli waris dari pihak perempuan/ garis ibu karena anak-anak merupakan dari keluarga ibunya, seperti terdapat pada masyrakat minangkabau. Dengan demikian, anak-anak hanya menjadi ahli waris dari dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Seperti di minagkabau.
3. System kekluargaan Parental atau Bilateral, yaitu system yang menaik keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, didalam system ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sejajar.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dan system keturunan diatas, jelas bahwa keadaan hukum waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan hukum adat masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut. Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya "Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum Nomor 2 mengemukakan, antara lain: "...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang dianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak".




DAFTAR PUSTAKA

Eman Suparman, Intisari hukum waris Indonesia, CV. Mandar Maju, 1995 Bandung
Prof. H. Hilman hadikusuma, SH. Hukum waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Islam dan Hind. PT Citra Aditya Bakti. Bandung 1991
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/6%20HUKUM%20WARIS%20INDONESIA%20Dalam%20Perspektif%20ISLAM,%20ADAT%20dan%20BW.PDF
Prof. H. Hilman Hadi Kusuma S.H. Hukum Waris Adat” PT. Citra Aditya Bakti. 1993 Bandung,